Sunday, June 01, 2014

Dobel Cisburgernya Mekdi Lebih Enak dari Gurame


Mengajar itu sebenarnya capek ga sih? Capek tauk. Mengajar. "Mengajar..." adalah cara termudah mencari uang bagiku, ketika hidupku semata untuk mencari uang. Setelah sekian lama ini, habis motivasiku untuk sebagian besar yang biasa kukerjakan. Hanya keinginan untuk minum kopi saja yang tinggal, dan cisburgernya Mekdi juga kadang-kadang. Cisburger itu kalau dobel kebanyakan sampe begah, kalau satu ga nendang. Itu pun mudah hilangnya. Keinginan itu. Cukup mengingat bahwa bulan Mei kemarin ini aku hanya terima kurang dari sembilan juta. Hanya. Hanya?! Benar-benar ajaib. Masih segar di ingatanku, khayalanku, seandainya saja penghasilanku lima juta sebulan, maka sekian untuk ini, sekian untuk itu... Kapankah itu? Sepertinya tepat ketika aku baru pulang dari Belanda. Sekarang aku dapat hampir dua kalinya dan kukata "hanya"?! Ya, hanya. Itulah sebabnya hilang hasratku akan cisburger Mekdi, yang dobel maupun tidak. [Aku sampai ingin mengolah tahu susu baru saja, sayang tidak ada brambang bawang.]

Sambil menghadap ke timur, ke jendela belakang, aku membelakangi Cantik dan anak-anaknya yang sedang belajar entah apa-apa. Gara-gara mereka, aku tahu beberapa hal. Paragon dan nonton setidaknya. Jika dibandingkan lima [ya, lima] tahun lalu, memang inilah perbedaan terbesarnya. Jika aku harus hidup seperti orang normal yang mencapai ini dan itu, maka aku butuh... Istri, begitu batinku beberapa tahun yang lalu. Istri atau keluarga? Normalnya orang hidup berkeluarga. Begitulah sering kulihat dengan tatapan sok peduli beberapa tahun lalu. Keluarga-keluarga itu. Kecil-kecil. Menuntun anak-anak mereka naik eskalator. Apa benar itu yang kuinginkan ketika itu? Apa benar itu yang kuinginkan sekarang? Untunglah aku sempat melatih diri untuk menjalani apa saja yang terbentang di hadapanku. Sekarang pun begitu. Aku sekadar menjalani apa yang terbentang, membentang. Sudah berapa lama aku berkeluarga? Uah, peduli apa. Aku mencintai Cantik. Aku selalu merindukannya jika sedang tidak bersamanya; dan, kurasa, aku menyayangi anak-anaknya. Rr. Khairaditta dan R. Fawaz Hamdou Notoprawiro.

Sekarang, aku ingin mengopi lagi! Tidak, ah. Jangan. Setelah ini memang yang paling benar shalat lohor. Apa mandi dulu? Kemudiannya itu yang menceloskan hati. Dokumen-dokumen pengadaaan lagi atau langsung bbp_dji, atau malah soal SdA besok? Emang masbuloh kalau aku menekuni bbp_dji saja? Apa aku bakal lebih senang? Hari Minggu yang panas begini ditemani Now and Forevernya Air Supply mengingatkanku pada masa kecilku di Jl. Radio, mungkin jaman aku kelas 4 SD seperti Khaira sekarang. Memang keren adikku Haryo. Dia lah yang mengenalkanku pada Air Supply, sampai-sampai kami berdua sama-sama suka Come What May. Yah, apapun yang akan terjadi... Cukup sedih juga hatiku dibuatnya, ketika dini hari tadi aku membuka al-Hikam dan Futhuhul Ghayb dan tak satupun menggetar-gelorakan hatiku. Kini malah One More Chance, lagu temaku ketika menjelajahi atap-atap Gamma I. Semua itulah bianglala hidupku. Tidak apalah. Semoga aku dapat terus menjalani apa yang terbentang, terhidang di hadapanku. Semoga lurus jalanku, karena ya hanya itu yang tersisa dari harapan, keinginanku...

Ya, sungguh tidak keren memberi judul dengan awalan "Suatu Entri tentang..." maka dari itu sekarang ini kuganti. Ini sudah Maghrib di tepian Cikumpa, di Kampung Serab, tapi rasanya seperti harus kutambah sedikit entri ini sebelum ditutup. Akhirnya, hari ini untuk kali pertama aku makan di Saung Fitri. Tempatnya memang tidak pernah menarik hatiku, meski memang jarang sekali aku kepingin makan gurame goreng. Dan begitulah makanannya. Memang ada gurame-gurame yang memorabel, seperti Gurame Cobeknya Nging Kemang, lalu gurame entah apanya Bang Mayakan juga boleh, kalau tidak salah pesmol--dan kalau tidak salah lagi, sekarang sudah tidak ada menu itu. Yang baru saja kucoba di Saung Fitri... sangat tidak memorabel. Almost inedible, bahkan kataku tadi; tapi itu khusus mengenai cah kangkungnya. Jadi, cah kangkung itu disajikan dengan piring panas. Mungkin itu memang suatu muslihat agar rasanya yang ya sudahlah itu jadi tersamarkan, persis seperti taktikku jika ingin melupakan rasa makanan sel dahulu di AAL. Sayur asemnya... ini juga tidak dapat disebut. Awalnya aku membayangkan sayur asem yang segar. Nging Kemang juga tidak membuat sayur asem yang bening seperti Ibu Tamin, Bang Mayakan juga merah warnanya. Tapi yang ini... mungkin hanya satu strip di atas cah kangkung yang almost inedible tadi.

No comments: