Tuesday, October 09, 2012

Takkan Ada yang Sanggup Membuatku Berpaling


Entri ini tadinya mau kuberi judul "Malu Dilihat Anak Kecil." Malu, karena aku suka hilir-mudik bertelanjang bulat jika sedang sendirian. Kalau ada anak kecil, tentu saja malu dilihatnya. Selain itu, anak kecil jaman sekarang cepat sekali dewasanya ya. Atau memang sudah dari dulu? Apakah kawan-kawan sebayaku dulu juga cepat dewasa seperti mereka sekarang ini? Kurasa ya, karena, seperti halnya Awan Sudiro, Endro Wahyu Wibowo bahkan Yesayas Silalahi dan Ari Setiawan, mereka segera saja menyadari apa yang terbentang di hadapan mereka, yakni karir sebagai perwira TNI-AL; sedangkan aku sampai hari ini saja masih tidak terbayang karir apapun, meski aku sudah diangkat menjadi pegawai BHMN UI di unit kerja Fakultas Hukum. Kembali ke anak-anak ini... jadi kemarin dua orang menghadapku untuk bimbingan skripsi; yang satu bicara mengenai kerugian yang timbul di pihak petambang gara-gara ketentuan tarif menambang di kawasan hutan, yang lainnya berkata bahwa mengusir Adaro adalah tidak mungkin. [?!]

Aku ini seperti sales Blau Tjutji tjap Kidjang yang dipaksa menjual Attack Colour Guard. Biasanya sih, yang kulakukan adalah tetap mencoba menjual blau. Masalahnya, calon-calon pembeli tidak ada yang tahu apa itu blau! Dan Farid Hanggawan berpikir bahwa dia lucu ketika dia bilang Koperasi wis ora payu didol. Apa pikirmu ini?! Ini adalah... blau... Lalu Sandoro Purba. Sopiwan merasa dirinya lucu ketika dia bilang aku sedih sekali ditinggal Sandoro. Aku tahu persis 'ainul yaqin bahwa jualan blau merek apapun hari begini tidak akan laku, kecuali jualannya di Kupang atau Viqueque, mungkin. Aku tahu pasti itu. Dari awal aku juga tidak mau jualan blau. Aku tetap berjualan blau, karena hanya itu yang ada padaku. Ya, aku sayang blau. Namun aku realistis dan pragmatis. Aku bisa saja meninggalkan kekasih kesayanganku kalau dia hanya bikin repot. Nah, yang terakhir ini terus terang aku bohong. Aku terlahir di bulan Agustus dan aku memilih untuk setia pada pilihanku. Ya, aku sayang blau, tapi bukan berarti aku akan membabi-buta menjajakannya. Aku akan tetap menjajakannya karena nyatanya, sampai detik ini, itulah yang ada padaku.

Berbicara mengenai hantu blau, ini lagi orang sama ramai membicarakan korupsi. Korupsi itu hantu blau, dan blau itu sama sekali nyata dan tidak seram. Sudahlah. Lalu ada film mengenai Admiral Yamamoto. Ada yang berkomentar begini, semua film Jepang mengenai Perang Dunia Kedua temanya menyalahkan perang, sedangkan semua film Amerika membenarkannya, menggambarkan betapa heroiknya. Iya juga ya. Lihat saja film Letters from Iwo Jima, bandingkan dengan Sands of Iwo Jima. Apa yang salah dari Jepang saat itu? Ambisi imperialisnya, atau caranya mewujudkan ambisi itu? Pesan yang kutangkap sih, yang salah adalah caranya. Tidak boleh pakai perang. Bolehnya pakai tipu-tipu, pakai korporatokrasi di bawah asuhan perusahaan-perusahaan transnasional. Ya, blau sudah tidak ada yang tahu. Blau sudah menjadi hantu, yang tidak seram. Perang memang membawa penderitaan yang amat sangat. Lihat apa yang terjadi pada rakyat Jerman dan Jepang. Lalu ada orang-orang yang mengatakan bahwa kita, umat Islam, boleh memerangi kaum yang menindas kita, apalagi sampai menginjak-injak keyakinan kita; katanya begitu, kurang-lebih...

Takkan ada yang sanggup membuatku berpaling
...dari BLAU!!!

Jika orang sudah tidak tahu lagi apa itu kehormatan (honor), biarlah. Kehormatan adalah suatu pengertian, suatu pemahaman yang sangat sulit diajarkan. Seorang anak baru dapat kiranya diajari kehormatan ketika ia sudah remaja. Namun bila orang sudah tidak tahu lagi apa itu rasa hormat (respect), tidakkah orangtuanya yang harus disalahkan? Bukankah orangtua yang harus mengajari anaknya rasa hormat, setidaknya pada orangtuanya sendiri. Tentu saja, agar mampu melakukan itu, orangtua tersebut harus sudah mengerti dan memahami apa itu kehormatan. Orangtua harus tahu menghormati dirinya sendiri, yang karenanya ia berhak atas rasa hormat anaknya. Lagipula, menghormati diri sendiri itu berarti memiliki rasa hormat pada orang-orang yang memiliki kehormatan. Betapalah kini kata itu, "hormat," sudah begitu asing di telinga siapapun. Bilakah putusnya rantai itu, pelajaran menghormati yang patut dihormati? Apakah pelajarannya yang berhenti, atau kehormatan itu sendiri yang sudah tidak ada, untuk dijadikan alat peraga?

Catatan ini kutambahkan pada 19.45, setelah aku menamatkan menonton film Admiral Yamamoto. Aku baru sadar bahwa aku bisa menambahkan catatan pada sebuah entri kapan saja, tanpa mengubah tanggal diterbitkannya entri itu sendiri. [Aku seperti Anne Frank]

1 comment:

Anonymous said...

2 hari setelah nama Ari Setiawan di mention dalam tulisan ini, sahabat kita Mayor AL Ari Setiawan mendului kita menghadap sang Khalik ... Selamat Jalan Sahabat ... (oebay)