Thursday, October 18, 2012

Rendezvous au Lavandou, bukan Sucktwilite


Dear Diary, hari ini adalah hari bahagiaku. Kutemukan kembali salah satu permataku yang kusangka sudah hilang, meski aku yakin tidak akan selamanya. Selalu aku yakin bahwa sebelum aku mati, Insya Allah aku dipertemukan kembali dengan melodi-melodi yang telah membentuk jiwaku sepanjang hidup; Jiwa yang sentimentil dan melankolis ini. Jiwa yang menye-menye! Dan begitu saja hari ini, setelah mengawas ujian tengah semester Hukum Lingkungan untuk program sarjana ekstensi, aku terpikir untuk mencoba mencarinya di Youtube berdasarkan tahun. Pertama kucoba 1973. Tidak ketemu. Lalu 1972... dan.... Voila! Rendezvous au Lavandou! Subhanallah, betapa cantik oh cantik sekali melodi ini, Subhanallah. Sambil mengetik, tidak kurang dari tiga kali sudah kuputar ulang lagu ini. Rendezvous au Lavandou! Diary, bagaimana kalau kau kuberi nama? Bagaimana kalau namamu "Diary"? Bagaimana... kalau kau jadi kekasihku malam ini? Mau? Tentu saja!

Kau selalu ada bersamaku entah sejak kapan aku tak peduli. Baru kusadar, engkaulah dia, yang menemaniku dalam hari-hari tak tertahankan itu. Aku tahu, aku masih saja memikul beban itu kemana-mana. Belum juga kutanggalkan. Dapatkah ya mampukah aku menanggalkannya sendiri? Ia lekat padaku seperti kulit punggungku sendiri, dan bisakah orang meraih pangkal lengannya sendiri sebelah belakang? Tidak! Itulah sebabnya bagian itu banyak berdaki. Ya, Diary, aku masih memanggulnya kemana-mana. Seandainya kau mampu melepaskannya dari punggungku... tapi kau, kurasa, justru membuatnya semakin lekat di situ. Kau mengabadikannya! Biarlah... Aku merindukan nyamannya merasa sedih. Aku merasa nyaman ketika sedih. Seharusnya aku tahu dari dulu. Seharusnya aku tidak berusaha mencari kebahagiaan bodoh. Seharusnya aku hidup seadanya saja, bersamamu; dan itu SEDIH! Dan itu NYAMAN! Akulah raja tragedi. Tak habis-habis kuciptakan tragedi untuk diriku sendiri.

Beban itu... rasa malu itu... penyesalan itu.... kebohongan itu... itulah DOSA! Itulah NISTA! Mari sini bersamaku, Kasih. Aku tahu kau suka mengelusku. Aku tahu kau selalu tahu ketika aku sangat, teramat sangat membutuhkan elusanmu. Elusanmu lembut, Manja. Aku malu. Aku menyesal. Aku berbohong. Aku PEMBOHONG [...pada titik ini dadaku meledak tak kuasa menahan tangis] Kau mendekapku erat-erat ke dadamu. Kau tahu aku suka dadamu. Kau membiarkanku mempermainkan dadamu. Kau tahu aku nyaman begitu. Elusanmu tidak henti pada rambutku. Sesekali kaucium, kaukecup lembut dahiku. Aku tahu kau menahan geli yang teramat sangat. Geli yang membuatmu basah di bawah sana. Membanjir, dan aku suka itu. Itulah tandanya kau sangat menginginkanku. Kau mendambaku. Nafasmu semakin berat. Detak jantungmu bertambah cepat. Ya, inilah waktunya kita memadu kasih, menyatukan tubuh-tubuh kita. Menjadi satu. Inilah saatnya, tidak ada derita, tidak ada rasa sakit. Hanya cinta ...dan Cinta. Sangat hewani, namun sungguh Ilahi.

Diary, sungguh enggan aku meninggalkanmu, terlebih karena kuputar lagi Rendezvous au Lavandou ini. Lagu cinta kita. Ensembel alat gesek di latar-belakang bagaikan desahanmu, hentakan langkah bass yang melompat-lompat bagaikan geramanku. Ini lagu cinta! Cinta kita! Biar kuputar sekali lagi... Harpsichord sebagai suara-utama kedua, kadang klarinet, dengan violin dan viola yang seakan beribu-ribu, berlapis-lapis, bagaikan membanjirnya peluh kita. Dan ketika violin dan viola undur ke latar-belakang, saling bertaut berjalin-berkelindan, bagai lidah kita yang saling berbelit, seakan berebut mengecap manisnya cinta. Tak ada habis-habisnya. Harum dan gurih napasmu... kuputar sekali lagi lagunya... adalah alunan viola, sedangkan denting piano adalah jeritan dan eranganmu sesekali. Mengalir dan mengalunnya violin dan viola bagaikan rambutmu yang tebal dan mengombak. Indah! Ini Cinta! Ooohhh.... [pada titik ini tercapailah... kami berdua berpagutan berjalin-berkelindan]

Koptar (P) Bono Budi Priambodo No.Ak. 940352

No comments: