Monday, April 18, 2016

Berhenti Tepat Ketika Karnaval Dimulai


Kalau aku mengadu padamu mengenai tidak bahagianya aku, nanti aku disangka buta lagi. Entah mengapa di malam-malam gulita begini selalu saja Michael menyenandungkan kesenduannya, seperti telah terjadi bermalam-malam entah sejak kapan. Malam-malam ketika kusadari aku begini dan adikku juga tetap seperti adanya, entah dua puluh tahun yang lalu entah lebih—sedangkan Bapak dan Ibu sudah semakin tua dan tua saja. Sudah lama juga tidak kulihat jemuran melintang di ruang tamu. Sudah lama juga aku tidak tidur di bawahnya.


Maka tetap saja Michael menarikan Tarian Terakhirnya di malam-malam sunyi seperti ini, seakan menarikan sepinya hidupku, kosongnya batinku. Siulan gitar baja meningkahi pukulan perkusi yang nyaman bagai detak jantung yang tenang, damai. Lalu begitu saja Matahari Terbenam Karibia seakan melukiskan ufuk kesadaranku dengan desahan paduan suaranya yang mengilhamkan kasih asmara. Antara siapa dengan siapa? Ketika nada tiba-tiba kembali mineur, ketika itulah kenyataan menyentakku bangun dari lamunan akan cinta yang tak kunjung tiba.

Bapak dan Ibu, akhirnya itu saja, meski sakit selalu hatiku jika mengingatnya. Masa untuk ini pun aku hanya bisa mengkhayalkannya? Aduhai begini benar nasibku. Memang banyak dosa-dosaku, biarlah kutanggung. Semoga Allah mengampuni dan memaafkanku. Dunia ini, apa peduliku. Pecel Pincuk Mbak Ida atau Bu Ira terasa sama bagiku. Kenangan akan dosa dan dosa durjana sama pahitnya, bahkan lebih pahit dari Jamu Cak Mat yang entah di mana ia sekarang, turunan itu.

Anak-anakku tiada yang mengingatku, jangankan lima, jangankan empat, jangankan tiga, jangankan dua. Satu pun tak. Jika pun ada yang seperti mengingatku, TIDAK! Kalian anak-anakku. Kalian! Dengan mata-mata yang berbinar-binar seperti mata-mata Khairaditta, Aku ada Satu Pertanyaan. Apa yang akan kalian lakukan bagi dan terhadap saudara-saudara kalian yang tidak beruntung? Keadilan sosial, ‘Nak, ingatlah selalu itu. Berempatilah. Janganlah kalian menjadi pendusta agama. Berbelas-kasihlah. Bagaimana caraku mencegah kalian dari Days of Law Career hahaha.

Bapak, Janganlah Berjalan Terlalu Cepat. Tapi kita harus cepat, ‘Nak. Mengapa harus? Mengapa tidak boleh kunikmati saja hidupku? Sungguh, aku rela jika itu untuk kalian, dengan tatapan-tatapan lugu kalian. Tapi tidak untuk oom-oom kelas menengah keparat yang tidak pernah menyimpang dari kekentuan! Aku bisa apa, ‘Nak? Hanya satu pengharapanku. Janganlah kalian hancurkan hidup-hidup muda kalian. Jangan kalian renggut paksa tatapan-tatapan polos kalian. Margaret, coba buatkan Bapak kopi. Ya, aku Bapak sungguh-sungguh. Tiada seleraku padamu.

Meski dimainkan engkau dengan recorder, meski dengan dood, meski pahit getir terasa olehku. Bagaimana ‘kan kujalani sisa hidupku? Dengan memainkan Mandolin dari Nicosia? Seperti sudah bermalam-malam entah beberapa ribu? Meski menungging di lantai kamar mandi dan mencolok dubur sendiri? TIDAK. ‘Kan kujalani sisa hidupku, Insya Allah, dengan mengingatNya, bersyukur padaNya dan memohon padaNya untuk dijadikan hamba yang lebih baik. Aku memang seperti ingin ngopi dari tadi, meski Takwa tidak mau, dan meski bukan kau yang membuatkannya, Margaret.

Namun tak ayal terjerumus juga kita dalam Permainan Terlarang itu. Hanya sekali itu kulihat tatapanmu lain. Sialnya, aku tidak bisa lupa. Kurang ajar kau mempermainkan orang tua, sedang dengan santainya kau katakan kawanmu sendiri tidak cantik, sedang kau puji kawanmu lainnya cantik setinggi langit. Haruskah kuperlakukan engkau seperti perempuan? Jih, untung saja aku sudah sampai di Desa, dengan ratapannya yang sungguh pilu, meski refrainnya nanti tiba-tiba riang-gembira entah mengapa begitu.

No comments: