Monday, May 02, 2016

Tapa Perdanaku di Sari Kenangan Satu


[Ini adalah suatu gejala (halah) sindroma gila menulisi, sudah tiga hari ini berturut-turut ada entri] Namun aku memang merasa perlu untuk mengabadikan tapa perdanaku di Sari Kenangan Satu. Boleh jugalah entri ini disebut Ke Barel Aku ‘kan Kembali atau apalah semacam itu. Memang itulah yang senyatanya terjadi. Kapan aku meninggalkan Barel? 2011? Mungkin iya, atau bahkan sepanjang 2011 itu aku sudah tidak di Barel—setidaknya sudah bolak-balik ke Pepaya. Sudah cukup lama.

Namun Sabtu lalu seharian sudah kuhabiskan di Barel dan sekitarnya. Campur-aduk rasa hatiku. Sensasi menyiapkan kos-kosan baru yang biasanya selalu kotor dan kumuh setelah lama ditinggalkan. Sensasi bergumul dengan debu-debu apak, hitam dan membuat gatal. Sensasi menggosok kamar mandi yang kondisinya ya sudahlah, dalam keadaan normal dapat saja membuat bergidik. Tambahan lagi, kasur kapuk! Ya as-Salaam, sudah berapa lama aku tidak melihat benda ini. Bahkan Markas Beto dahulu pun berkasur busa. [atau ada yang kapuk juga, ya?]

Untunglah sepanjang Sabtu itu cuaca sangat bersahabat. Sepanjang hari dari pagi langit terus saja mendung. Matahari tidak mengintip barang sepicing pun, bahkan ba’da ashar sempat hujan lumayan deras. Lelah memang, namun cukup dengan duduk dan berbaring sebentar mengusirnya. Semakin yakin aku biang keladi lemahnya tubuhku belakangan ini adalah cuaca yang tidak menentu. Hei, cukup banyak juga kuhabiskan untuk menyiapkan kos-kosan ini, mungkin sekarang sudah hampir satu juta. [belum sih… masih di bawah itu. Semoga]

Demikianlah maka hari ini—di bawah terik matahari setelah mendengarkan dongeng Claradika mengenai Public Private Partnership yang tidak sampai setengah jam itu, aku mencongklang Pario ke kos-kosan. Memang sudah kuniatkan terutama untuk membeli kursi plastik, karena satu-satunya kursi yang tersedia sudah dipatahkan Jay. Sesampainya di kosan, begitu saja aku terpikir barang lain: Kasur! Ya, karena kasur kapuknya sudah sedemikian tua kiranya sehingga menimbulkan polusi udara yang mencekik leher. Maka kugulung lagi itu kasur kapuk dan kuletakkan di luar di atas kursi patah.

Sesampainya di Hypermart Detos, segera kukelilingi bagian belakang toko mencari kursi plastik yang ternyata ada di pojok paling belakang. Dalam perjalanan mengelilingi belakang toko itulah aku melihat kasur lipat. Demikianlah maka kasur lipat lengkap dengan bantalnya sekali, juga kaus oblong—cocoklah untuk mendinginkan badan setelah terpanggang panasnya udara dalam seragam oranye Dhanny Dahlan koleksyen. Sesampainya di kosan, shalat dan segera menggelar kasur. Tadinya mau sambil membaca, namun nyatanya terlelap juga.

Pada saat terlelap-lelap ayam itulah hujan turun dengan derasnya. Sederas itu hujan turun, mungkin agak setengah jam lebih, masih tidak mampu mengusir gerahnya udara. Belum sempat terlelap maka bangunlah aku dan mendirikan shalat Ashar, bersiap-siap kembali ke kampus untuk mendongeng mengenai sumberdaya air. Demikianlah lebih dan kurangnya pengalaman tapa perdanaku di Sari Kenangan I yang merupakan salah satu kosan elit pada masanya. Delapan ratus ribu Rupiah sebulan kini, lebih mahal seratus dari yang diminta Babeh Tafran untuk kosannya.

Sesungguhnya, yang kusebut kosan dari tadi adalah “Sekretariat Bersama Komisariat-komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia di Universitas Indonesia,” yang karenanya harga sewanya naik menjadi Rp 1,000,000/ bulan—padahal hampir tidak pernah dihuni. Justru karena itulah maka aku bertekad membersihkannya dan menjadikannya semacam pertapaan pribadi. Tentu saja aku berharap sekali dua berkumpullah bocah-bocah itu di sini, terutama para kontributor revolusitotal.org. Namun janganlah berkumpulnya itu terlalu sering, karena aku yakin tak satu pun di antara mereka suka pegang sapu.

No comments: