Sunday, April 24, 2016

Kopi Itu Asam, Kopral!


Beberapa malam yang lalu aku mencoba mengetik langsung di editor teks Blogger ini, namun entah mengapa kuurungkan dan kembali ke kebiasaan lama. Nah, pada titik ini aku segera ingat—that mighty doubledash that I love most. Maka yang kulakukan kemudian adalah membuka Word, membuat doubledash, baru kembali ke editor teks Blogger hahahah. Silakan menertawakan tidak efisiennya cara kerjaku sesukamu, takkan juga kugunakan argumen seniman untuk ini. Jelasnya, aku sedang duduk menghadap selatan, memandang dedaunan, karena pandanganku setentang mata terhalang oleh papan bertuliskan Dr. Dian Puji N. Simatupang, SH., MH.


Ya benar 'Ndro, sedangkan aku sekadar Bono Budi Priambodo SH., M.Sc. yang bahkan IIIB/ Asisten Ahli saja belum resmi—hal-hal seperti ini dalam duniamu pasti penting sekali. Terlebih lagi, aku pun sekadar pengungsi korban rezim yang ditampung sementara di sini. Bolehlah ruangan ini di Minggu pagi yang terik kadang mendung ini. Ideku, seperti biasa, belum banyak berubah. Buka jendela! Biarkan udara segar mengganti kepengapan yang entah sudah berapa minggu, bulan, mungkin tahun, mengisi ruangan ini. Kini aku duduk menghadap jendela, sayangnya terhalang oleh papan kubikel yang membuat Takwa prihatin karena kecilnya—semua kubikel, kurasa, kecuali kubikel ini.

Lalu Arman Raafi Seif yang mungkin sekadar agar cool mengatakan "that little event of yours." Aku Insya Allah tidak bermimpi membendung gelombang apalagi tsunami, Nak. Aku terlalu masa bodoh untuk itu. Terserah kalian mana yang menurut kalian baik. Aku orangtua hanya dapat memberi tahu, sebatas dan sependek yang kutahu. Tadinya, aku terpikir untuk memberikan judul yang oye untuk entri ini, misalnya, Fuhrerprinzip dan Budi Pekerti. Namun seperti biasa niat itu kuurungkan, karena bukan di sini tempatnya sok keren begitu. Sudah cukuplah aku pura-pura waras sehari bisa sampai empat lima kali. [itu pun lebih sering gagalnya] Di sini biarlah aku menjadi diriku sendiri.

Seadanya. Aku dengan nama pemberian orangtuaku sebagai satu-satunya embel-embel. Sisanya, telanjang. Telanjang seperti biasa aku beberapa kali menulisi dalam keadaan seperti itu. Telanjang, menyembunyikan perbuatan burukku dari mata manusia seraya—dengan bodohnya—berharap ampunan dan maafNya. Demikianlah begitu saja terbersit ketika aku mengetahui Ustadz Mashadi tengah menjalani serangkaian terapi. Segala kehendakMu pasti baik, 'duhai Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. [apa pula aku yang nista durjana ini menyapaNya] Maaf jualah hamba mohon atas kelancangan ini, semoga segalanya yang terbaik bagi beliau dan keluarga, sekehendakMu.

Tua, gendut, botak, pongah dan pandir, dungu dan bebal. Betapa suatu citra diri yang mengerikan. Sudah tentu kepongahanku menyakiti hati banyak orang. Jika yang lain mungkin mencelakakan diriku sendiri, kepongahan ini berbahaya. Mengapa harus pongah meski hanya untuk pongah itu sendiri, meski hanya berolok-olok? Mengapa harus kuolok-olok kecil hatinya orang lain? Mengapa tidak kugunakan besarnya hatiku dengan semestinya saja? Lhah, baru saja sudah diulangi lagi. Haruskah kusebut-sebut besarnya hatiku, bahkan pada khalayak pembaca Kemacangondrongan? Tepat pada saat inilah Sopiwan  datang membuat keributan seperti biasanya.

Kini aku sudah pindah ke Ruang Sidang dan Perpustakaan Safri Nugraha dan pendingin-pendingin udara pun sudah dinyalakan. Memang memiliki teman bicara seringkali lebih baik daripada seorang diri. Sopiwan mungkin salah satu orang yang sering kusakiti hatinya. Jadi begitu 'Ndro, aku tidak dapat mengklaim kalau kita pernah menjadi kawan akrab. Namun engkau bagaimanapun memang selalu dekat di hatiku. Lebih dekat dari Buya Gunawan apalagi I Made Gede Antara. Apakah karena engkau 940353 sedangkan aku 940352? Mungkin saja. Aku pun merasakan sayang yang sama pada Teguh Rumi si 940351, nomor AK terkecil AL werving 1994.

Nah, seperti inilah seharusnya sebuah entri. Menyebut nama-nama.

Whoopsie Daisy, ternyata belum tujuh. Baiklah jika demikian aku cerita mengenai komentar Sopiwan yang diulang-ulangnya terus mengenai aku jadi selebritis. Ternyata itu ada kaitannya dengan proye'. Ternyata itu pun ada kaitannya dengan sahnya ia menjadi pemilik salah satu unit apartemen di Kemayoran sana, dekat sekali dengan tempatku dibesarkan sewaktu kecil. Suatu kebetulan yang manis karena, seperti kau tahu, nama blog ini adalah permainan dari nama Kemayoran—sesuatu yang mungkin takkan pernah kualami lagi dalam hidup yang ini. Sedangkan Tante Connie masih saja berdansa Waltz Terakhir. [Apa rasanya ber-waltz dengan Tante Connie ya] Semua sudah berakhir.

No comments: