Thursday, September 22, 2016

Sesakit-sakitnya Hatiku, Lebih-lebih Cintaku


Seedan-edannya aku, tidak mungkinlah aku melakukannya terhadap Emma—panggilan dari Emmanuelle. Gila ini! Ini adalah malam-malam sangat larut, atau bahkan dini hari sekali, ketika kabut baru turun dan embun sudah membulir. Bisa jadi karena akulah orang Venesia tak bernama itu. Sangat bisa jadi, karena aku bukan pedagang buah dan tidak dari Napoli. Lagipula, aku tidak pernah menerbangkan Mirage III dari varian apapun; justru kebanyakan pesawat-pesawat pemburunya Angkatan Laut Amerika Serikat.


Akhirnya, Kawan-kawan, aku setua ini dan tidak lagi memiliki keinginan apapun. Dulu pun apakah benar kuinginkan, tidak. Seperti inginnya aku pada sebentuk saksofon, seperti itulah semua keinginanku. Menguap semua, bahkan aku tidak ingin membuat metafora apapun untuk menguapnya semua keinginanku. Tersisa padaku hanya ketololan yang mengerikan, jauh mengerikan dari apapun yang patut membuat ngeri. [Apakah termasuk kemungkinan tertangkap dan disiksa seperti para tertuduh PKI dan Gerwani, aku tidak tahu apa-apa]

Kenyataannya, senandung saksofon Kawan Nyoto ini memang agak merdu. Desahan dan dehamannya, getarnya bilah bambu yang diperkuat getarnya udara dalam ruang pipa kuningan. Ini seperti rasa simpati yang terbit pada kesintingan-kesintingan yang diberondongkan Bang Fahri Hamzah pada sasaran-sasaran empuknya, meski dalam hal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) jelas pendirian kami beda. Mungkin karena ia dari Bima aku dari Jakarta. Aku tidak pernah merasakan kedaerahan itu meski lidahku sungguh betapa medok Jawanya.

Ini bukan Amerika, Bung! Di Amerika ada kengerian? Di tiap-tiap lipatan, tiap-tiap belahan pelosok bumi ini kuyakin ada saja kengerian. Kesadisan. Aku belum mengecek apa yang terjadi sepanjang Perang Sipil. Perang melawan Indian yang pakai menguliti kepala dan merebus lidah dalam minyak panas tentu saja sadis. Astajim ini samba dari suatu masa ketika pintu belakang terbuka pada kegelapan, temaram lampu bohlam yang menyinari tali-tali jemuran yang diikat pada lubang-lubang angin.

Jiahaha akhirnya kuketahui ulah siapa. Ah dari hampir duapuluh tahun lalu. Mungkin itu sebabnya aku tadi membeli sekaleng Guinness. Ini seperti sehisap sekepulan entah di pintu belakang maupun pintu depan. Teras dengan bantal-bantal merah kursi rotan, tetap dengan temaramnya bohlam. Oh mengapa semua berakhir? Mengapa pun aku harus mengakhiri mimpi orang lain akan kebahagiaan sepanjang masa, hingga akhir jaman? Aduhai begini benar nasibku, begitu benar nasibmu, Wahai Kecoak Jelek, Mampus!

Kini aku begitu saja tua, masih memberondongkan kata-kata tanpa makna, seperti dahulu di kamar setrikan—yang sekarang kamar Mbak Nung—menulisi buku tebal dengan puisi tolol mengenai orang tua tolol dan asap rokok. Tolol! Astaga, malam ini kurindukan kalian teman-teman lamaku. Kepulan dan kepulan. Asap dan uap. Tolol kalian semua hahaha. Tak satupun akan kutemui kalian meski kurindukan, malam ini saja. Kalian saja, lainnya tidak. Lain-lain yang juga temaram tidak!

Namun malam ini entah bagaimana caranya aku merasa muda... setelah sempat melihat sedikit film tolol tentang pembunuh berantai khas kesukaan Ige, sekarang mendengar Mack Si Piso. Hahaha betapa tololnya kemudaan ini. Sedangkan yang kusanding kini adalah Minuman Botani. Hah, apa pulak?! Selamanya aku akan menjadi Orang Asing di Malam Hari, meski direndisi seperti ini, tanpa romantisme apapun. Selamanya mungkin akan menjadi khayalan, ya, karena kuputuskan begitu! Romantisme semata adalah khayalan!

Mungkin karena seharusnya ada dua orang asing. Ini tidak pernah dua. Ini selalu satu dan itu selalu aku saja. Biarlah aku berdua dengan diriku sendiri, bertiga dengan kesepianku, berempat dengan kesepian diri, berlima dengan kesepian kami, akhirnya jadi beramai-ramai ‘kan. Ramai-ramai kami melonjak-lonjak riang di seputaran Katedral Winchester, sedangkan ia juga merek senapan pendobrak. (shotgun) Aku pasrah saja pada Sang Maha Kuasa. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku lelah.

No comments: