Sunday, May 01, 2016

Satu Mei di Danau Angsa, Insya Allah


Bolero ini, jika orang tidak suka-suka benar, maka pasti pusing dibuatnya. Namun jika sudah digelar ensembel string begini masa orang masih tidak suka? Apapun engkau, Bolero, aku lebih menyukaimu daripada harus menjadi tuan rumah untuk acara ramah tamah model apapun, meski tujuannya untuk membuat jalan yang mulus tempat bermain lima ekor gadis-gadisku. Ah, aku bisa membayangkan keanggunanmu. Keanggunan dan pesona yang tidak main-main, tidak dibuat-buat. Terpancar begitu saja dari hadirmu, dari adamu. Majestic!


Aku juga tidak sabar ingin segera mencicipi bertapa di Sari Kenangan Satu. Sebenarnya aku bisa saja membuat pertapaan lagi di tempat Babe Tafran, seandainya masih ada yang kosong, untuk tambah-tambah rejeki dia. Ini terpikir karena Ibu Semang Sari Kenangan Satu tidak mengijinkanku melubangi dinding hahaha. Babe Faishal pasti membolehkan. Entah sudah berapa kamarnya kulubang-lubangi. Aku butuh pertapaan itu, terutama selama aku dipecat seperti ini. Mana tahu hanya sampai akhir tahun ini.

Selebihnya, Insya Allah aku akan bertapa di tepi Danau Angsa! Hari ini Satu Mei dan aku masih berkhayal mengenai Danau Angsa. Semoga tahun depan tepat di hari dan waktu yang sama aku sudah berada di sekitar Danau Angsa itu. Semoga pada saat itu bahagia dan semangat saja adaku. Semoga dilancarkan semua sehingga selesainya. Amin. Pada titik inilah aku merasa mengantuk karena tidak tidur lagi setelah subuh tadi, semenjak dibangunkan Anak Gendut.

Berkeliling-keliling lantai dansa, bagiku, hanyalah khayalan yang dipicu asalku dari kelas aristokrat. Selebihnya, aku tidak tertarik untuk berpakaian sepatutnya bagi kesempatan seperti itu—apalagi sampai harus beramah-tamah dengan mereka yang hadir di situ. Biarlah ia menjadi sisa-sisa. Biarlah aku menjadi bangsawan yang membusuk, sejalan dengan membusuknya kehormatan dan rasa hormat. Meski demikian, sedapat mungkin aku akan terus berusaha menjadi orang terhormat, menjaga kehormatan keluargaku dan bangsaku, menjaga martabat kemanusiaan dan cita-cita moral rakyat yang luhur.

Dan itu tidak termasuk memakai kaus kaki, karena rasanya gerah. Bertelanjang kaki sungguh nyaman rasanya, meski telapak kakiku sudah tidak pernah tersentuh lumpur sawah lagi—paling banter lumpur jalan-jalan becek perkotaan. Yang coklat masih mending lah, yang hitam bagaimanapun membuatku ingin segera mencuci kaki. Jelek tidak mengapa, yang tidak boleh itu kotor dan bau. Sederhana itu suatu keharusan yang jika berhasil menepatinya akan menjadi kebanggaan. Bukan membangga-banggakan diri sendiri, melainkan kebanggaan komunal dalam wujud rasa hormat dari saudara-saudara sendiri.

Itulah cita-cita moral rakyat yang luhur! Tepat pada saat inilah aku merasa sungguh kesepian. Don Kisot masih jauh lebih beruntung dariku karena tunggangannya kuda, masih mendengus ketika dielus. Tungganganku Pario yang dudukan kakinya somplak. Eh, tapi ia mengerti loh perasaanku. Remasanku pada gasnya selalu ditanggapi seperti seharusnya. Kami memang bertambah tua bersama, dan selama itulah kami semakin tua dan tua saja—tidak seperkasa ketika muda usia. Tidak apa-apa. Inilah kodrat kehidupan.

Terlebih ketika kebangkrutan moral melanda seluruh dunia seperti wabah malapetaka begini. Inipun sudah diingatkan oleh nabi-nabi dan orang-orang bijaksana, jadi buat apa mengeluh? Buat apa merasa sepi? Satu-satunya kesepian yang patut dikhawatirkan adalahnya sepinya perbuatan baik, sepinya tanda bakti pada Majikan Maha Baik oleh dirimu sendiri. Padahal peluang dan kesempatan berbuat baik senantiasa mengintai di semua sudut dan tikungan. Padahal bakti pada Sang Asal Tujuan, seperti jantung sendiri, berdegup konstan.

No comments: