Saturday, January 14, 2023

Untuk Lucia: Aku Belum Cukup Tua, Mama Leone


Ahaha, setelah sekian lama aku baru tahu ternyata aku 'kan kembali. Sungguh aku sedih tidak bisa ikut bersemangat ketika Cantik mau buat paspor. Katanya, buat saja dahulu, nanti tahu-tahu pergi ke mana entah. Aku bahkan belum bisa membayangkan Unicorn Indorent dan Grand Artos. Alvin dan Hamdi sekeluarga tidak perlu membayangkan. Mereka sudah mengalami dengan sendirinya. Kasihan Istriku. Sekadar Unicorn Indorent dan Grand Artos saja aku tak mampu, apalagi paspor. Itu takkan terjadi lagi! Bukan paspornya. Melainkan ketidakmampuanku. Semoga...
Daripada mengecer satu-satu Anthony Ventura: Aku cinta padamu dari 1983, akhirnya 'kuputuskan untuk memberi kesempatan kepada suara-suara surgawi dari santapan pembaca. Rasanya lucu sekali seperti belum diberi spiritus. Namun belakangan spiritus banyak berair begitu, membuat becek. Mendekati tengah malam begini, suara-suara surgawi ini malah terdengar seperti pembangkit suasana dalam film-film horor. Kini aku malah terlempar ke depan Asrama UI Depok awal 1997 sekitar setelah maghrib. Berjalan sendirian 'nuju Halte UI di hari-hari anggur dan mawar.

Bisa jadi sesampainya di rumah 'kuhempaskan kesendirianku pada tuts-tuts Otto Bach, dan seluruh dunia terdiam terpaku seakan mereka memahami apa yang 'kurasakan. Perasaan seorang lelaki muda hampir dua puluh satu tahun. Hancur hatinya karena omongan asal-asalannya dari sekitar lima tahun sebelumnya menjadi kenyataan. Kau telah menghancurkan hatimu berkali-kali sebelumnya, Bodoh. Dengan tanganmu sendiri kauremas-lumat hatimu. Jadi jangan kautimpakan kesalahan pada ketika itu. Salahkan buku-saku, khayalan tak berdaya itu.

Mau bertambah tua bagaimanapun, dunia akan selalu begitu: muda, merekah, bermekaran. Melihat Bang Sambo di kursi pesakitan apa tidak sakit hatimu. Mendengar pidato Bu Mega apa tidak tersayat nuranimu. Namun dunia seakan tidak peduli. Terus saja muda, merekah, bermekaran. Bahkan yang kini muda, merekah, bermekaran pun 'kan segera menua, layu, dan kisut. Bagaimana yang tidak pernah benar-benar merasakan kemudaannya. Yang jangankan mekar, merekah saja tidak pernah. Dunia, betapa ngeri kekejamanmu. Betapa kejam kengerianmu...

Kini bahkan Doktor Zhivago mencemoohku yang memang patut dicaci-maki. Asam lambung selalu siap melompat keluar dari kerongkongan kembali ke rongga mulut. Betapa tidak, sarapan Indomie goreng jumbo biru diberi berkuah, dilanjut lemper, risoles, dan sus sambil menguji. Makan siang nasi jeruk lauk dendeng gepuk, telur pindang, oseng cakalang, sayur bunga pepaya, masih dengan kerupuk putihnya sekali. Makan malam mie lebar ayam pangsit, masih dengan beberapa keping snek krekers rasa ayam dan biskuit selai stroberi. Ya, aku mengaku salah.

Kalau masalah ngemil, kemarin aku keterlaluan. Ngemil sampai tiga kali seperti masih muda saja. Macan kumbang kurus warna merah-jambu ini mengapa tidak berhenti mengendap-endap. Maka aku tidak mau ngemil lagi. Setidaknya hari ini. Aku harus mengendalikan kecanduanku pada rasa nyaman. Jika saja aku seorang Yahudi dan dibawa ke kem kerja paksa, tidak pakai lama aku pasti mati. Namun karena aku bukan Yahudi, tentu sebelum mati aku akan berdoa kepada Allah memohon akhir yang baik, dimudahkan sekaratku sebelum mati. Aku memang orangnya begitu. 

Aku mencemooh Awful yang ingin pulang ke tanah. 'Kukatakan padanya, belum rengking satu saja sudah mau jadi tanah. Tepatnya, memang sudah sedikit sekali yang 'kupercaya, kalau sampai yakin bahwa satu-satunya jalan adalah menjadi diktator. Itu 'kan sama bodohnya dengan pikiran Kusmasai. Nyatanya, aku hanya mengerjakan apa yang harus 'kukerjakan. Selebihnya, aku menikmati rasa nyaman. Berlebihan atau tidak, tak hendak pula 'kupikirkan. Merasa nyaman sudah cukup nyaman untukku, entah lebih baik dari hutan belantara antara Vietnam-Kamboja atau tidak.

Jangan datang atau titip salam. Pergi saja sana

No comments: