Tuesday, January 10, 2023

Soekardono Aku 'kan Kembali. Walaupun Apa...


Yang 'kan terjadi. Begitu saja ada di kepala tanpa berusaha mengingat-ingat, perut pun menggelembung menjijikkan. Sungguh mengherankan tidak merekahkan belahan kemeja, meski di dalamnya ada kaus singlet hitam tak berlengan. Malam ini takkan ingat jika tidak ditulis dalam bahasa Perancis, seperti entri-entri dari sekitar empat tahun lalu. Bagus 'lah lupa karena pasti mengenai sesuatu yang menjijikkan, seperti menggelembungnya perut seakan hendak meletus. Biar 'kuakui di sini: belum pernah sekalipun dalam hidupku aku sholat istikhoroh, Si Bodoh...
Aduhsay, aku memikirkanmu dalam bahasa Perancis, betapa indahnya. Ini sudah lewat lebih dari 24 jam, dan sekarang kembali ke malam ini. Tadi malah lebih ekstrim karena terpikir untuk melenyapkan segalanya, mengembalikan semua ke "asdf". Namun, seperti terlihat, tidak jadi. Sekadar diteruskan saja, karena sebentar lagi toh aku memikirkanmu. Madu TJ masuk angin bahkan lebih lebay mentolnya daripada jahe merah mint. Dengan rasa badan begini, sungguh tak sanggup 'ku bahkan sekadar membayangkan menyusuri Brusselsestraat, sedang aku memikirkanmu...

Ternyata memang hanya satu klik lebih sedikit. Pantas aku sanggup-sanggup saja sekitar lima belas tahunan lalu. Terlebih jika sambil memikirkanmu, ensembel biolamu. Entah mengapa jika teringat betapa 'ku memikirkanmu, sepanjang Brusselsestraat, potong kompas di Vrijthof, bablas Kapoenstraat yang hadir dalam kenangan. Terutama awal-awalnya, turun di halte Koningin Emmaplein itu, bertemu bapak-bapak yang bisa berbahasa Indonesia, yang mengajariku berjalan cepat. Tidak ada yang menyenangkan. Yang menyenangkan di tepi Cikumpa sini bersama Cantik.

Setelah menelusuri satu cinderamata lantas cinderamata lainnya dari musim panas di India, seperti biasa, Michele melendotkan badannya pada bahuku. Michele, seperti biasa, tak berupa tak berwajah, bahkan tak berbau. Jika pun berbau, mungkin bau loteng Kapoenstraat 2 itu yang 'kucium, atau bahkan rubanahnya sekali; buku-buku bekas seharga rata-rata satu Euro itu. Bisa jadi, Michele justru berbau seperti lekkerbek broodje dari De Dolfijn di Markt sana; karena smeerkaas-nya Jumbo atau Albert Heijn cenderung kurang tajam baunya. Aneh memang Michele ini.

"Lha ini baru enak!" seru Muchsin sambil membuka tutup matanya, dari masa awal remajaku. Ini yang jelas lebih enak daripada seharian berkurung di Soekardono, meski arem-arem, bolu kukus, dan pastelnya sekali. Entah mengapa pula aku memesan nasi fuyunghai dari dua kali lirikan memandang ke arahku. Opa Billy mendehamkan saksofonnya melantunkan irama-irama latin seperti dari masa muda bahkan kecilku. Tidak perlu pula 'kuakui di sini kegagalanku sejauh ini. Nanti saja kalau sudah berhasil juga tak perlu diceritakan. Sungguh menjengkelkan, Ummi.

Untunglah burung layang-layang melintas dalam khayalku. Aku tersenyum padanya, sedang ia hanya terus terbang mungkin tidak mempedulikanku sekali. Pinggul-pinggul memang selalu bergoyang di Brazil sini jika burung layang-layang sudah melintas, maka 'kuabaikan saja. Aku masih tersenyum pada burung layang-layang yang terus terbang menjauh entah ke mana, sedang aku mengelus-elus perut buncitku. 'Kugebrak-gebrak gendang senar ini bukan karena marah, bukan pula karena gembira; melainkan karena bintang kecil telah terbit di ufuk timur.

Menyelompret sedang diredam begini memang mengimbau suasana hati yang suam-suam kuku, terlebih di senja hari ketika malam masih berselendang sutera lembayung pada bahu telanjangnya. Lha, ulang tahun kecil masa begini bunyinya. Sedih sekali atau lucu sekali. Maka kembali 'lah aku menghadiri ulang tahun entah siapa di Kompleks Angkasa Pura Kemayoran Gempol sana. Ya, yang di apron timur itu. Sekejap saja, karena sekedip kemudian aku sudah kembali dalam wadag gendutku meratapi pengkhianatan dan kepalsuan dalam bahasa Spanyol, kekasihku dari dulu.

Cintai Aku Banyak-banyak

No comments: