Saturday, January 07, 2023

Kesetiaan Seekor Anjing 'Ku. Yang Serigala Begitu


Halah, tidak perlu repot dulu mengenai judul, yang penting segala kerepotan tadi ternyata memang membuahkan hasil. Apakah ke depannya ini akan menjadi prosedur operasional standar [halah lagi]. Doktor Yu Un begitu saja ingin menyelundupkan ide legitimasi ganda, populis dan politik. Bahkan pembatasan masa jabatan saja terasa kekanak-kanakan. Penjelasan praktisnya memang seperti yang pernah disampaikan Pak Try: jika memang jempolan dan masih sanggup, mengapa harus diganti. Penjelasanku: itu berada dalam ranah moral. Tak'da guna diatur tertulis.
Dari mana 'ku harus memulai bahkan sebelum lahirku. Beberapa puluh tahun lalu, 20 sampai 25 tahun lalu, paradoks seperti ini bisa jadi sangat menariknya. Saat ini, aku merindukan remang dinginnya ruang bawah ruko gang pepaya; terlebih dengan perasaan-perasaan ini. Bisa jadi aku juga merindukan nasi goreng dengan sambalnya sekali yang cenderung asam manis itu. Uah, masa muda. Apakah ketika itu aku menginginkan teh dalam pet plastik yang dingin segar, atau malah sekadar berjalan di sepanjang peron stasiun, terutama melihat-lihat buku baru dan bekas.

Bisa juga aku merindukan bau Buku Kafe, yang makanannya satu pun tidak bisa 'kuingat; atau bahkan Burger and King, roti lapisnya yang menang tebal doang atau bahkan spaghetti bakar. Kemudaan, ringannya badan, tidak bergantung pada obat. Jika pun obat minyak angin aroma jeruk di atas dipan Yangyut Uti, lalu Akung, lalu Bapak. Di sampingnya meja tivi Blaupunkt mungkin dari jaman Kemayoran. Di atasnya ada buku-buku, ada tasbih yang Insya Allah hari ini masih ada. Babak-babak kehidupan, seperti warteg apa itu di Kukusan Teknik waktu masih muda.

Mengapa tidak dibuat cerita yang runtut begitu, yang logis. Itulah membelenggu. Makna, seperti halnya kenangan, terserak begitu saja seperti dedaunan kering di pekarangan. Disapu, bisa dengan atau tanpa bantuan pengki, dimasukkan ke dalam lubang, dibakar. Aromanya sungguh khas, sampah dedaunan yang dibakar di dalam lubang tanah. Memberi kehangatan di persekitaran, mungkin mengusir nyamuk sekali; seperti kenangan Nex Carlos mengenai Ambawang yang masih berhutan di awal 2000-an. Bahkan kenangan tentang teh tarik kurang manis di Vokasi.

Sungguh aku lupa adakah simfoni cinta di SMA. Mengapa kenanganku mengenainya selalu dalam temaram lampu bohlam atau bahkan sentir sekali, mengepul-ngepul uap kopi hitam panas dan asap rokok tidak mungkin di SMA. Seberapa banyak makanku ketika ini sungguh aku tak ingat, namun menyusuri Jakarta Utara sampai ke Jakarta Selatan berjalan kaki bahkan berlari tak masalah, di tengah malam. Kebahagiaanku adalah ruang tamu Pak Moussa el-Khadoum kembali ke front. Ah, lagi. Lagi-lagi mengharu-biru hidupku berpuluh-puluh tahun. Tanpa kata, hanya nada.

Simfoni cinta memang tidak pernah 'kurasakan di alam nyata. Hanya Natalie yang mengaku Mona Lisa, sedang diperankan oleh Ali yang sudah berusia 41 tahun saat itu. Nyatanya aku lebih siap untuk jatuh cinta lagi, namun tidak kepada Natalie atau Mona Lisa sekali. Kecantikannya memang selalu membelai jiwa, sedang badanku ini selalu haus belaian. Hidup kemudian mustahil tidak ada, meski kau boleh mengolok-olokku sebagai pecundang. Hari esok yakin ada, terserah apa katamu. Uah, bulan biru sudah 'kudapatkan dan banyak lagi lainnya. Mau minta apa lagi aku.

Ya, semua ini memang salahku sendiri. Rasa bersalah yang terus menghantui tak mau pergi, karena bahkan 'kuabadikan setiap hari. Memang keketusan bahkan kekurangajaran bisa jadi penyelamatku, ketika merunduk saja 'kukejar-kejar siapa tahu sekilas-lintas. Sehabis subuh berjingkat-jingkat ke dalam bayangan sekadar untuk membelaikan pandangan pada merekahnya musim semi, inilah ganjaran yang pantas bagiku. Jika kau membaca ini, inilah kengerian hidup di dunia yang selalu lebih disukai daripada hari esok. Kentut saja bisa sebusuk itu, apatah aku.

Bisa jadi sudah musim semi

No comments: