Saturday, January 28, 2023

Bila Rasa Ayam Bakarku Ini Rasakan Kau


Itulah perasaanku ketika itu, yang lebih baik 'kulupakan saja. Cukup bila 'kutuliskan di sini Paul Culkin untuk melampiaskan kekesalan kepada Krutjiel. Mungkin kalau punk memang harus begitu 'kali ya. Kalau aku 'kan punk muslim [halah!] Lebih baik 'kuluapkan kecenderungan artistikku pada Baby Spice, menari berputar-putar seperti tango namun dalam irama cha cha ini. Bisa juga 'kubiarkan secercah senyum yang cerahnya seperti mentari pagi, meski siang mendung berangin begini. Jengkel! Berlari-lari mengejar kereta api sungguh adegan tipikal holiwud.
Bukan kebetulan pula jika pagi berhujan dan aku sangat mencintaimu bergema dalam relung sanubari, seperti halnya berbagai-bagai melodi, bahkan bunyi-bunyian entah-entah. Aku belum pernah tidak bergidik ngeri membayangkannya, namun apatah dayaku. Orang tak bernama tak dikenal dari Venesia begitu saja berhembalang menyelonong sampai 'kulamatkan. Bukan pula baru sekali ini Cantik menolak naik taksi online, malah menembus hujan yang tidak bisa dikatakan rintik-rintik ini. Entah berapa banyak anak perempuan yang tampangnya bikin sendiri dicemooh.

Aku kembali lagi menghadapi HP-11Cb setelah klesetan gegoleran. Dua bahasa daerah 'kugunakan sekaligus, sedang istriku tidak menguasai satu pun bahasa daerah. Begitu saja aku menyeberangi Mersey di pagi berhujan ini, sedang Gerry 'kubuat lamat-lamat begitu. Pagi ini hujan mengguyur dengan sendirinya, entah mana yang efek suara, hujan atau Gerry. Jika kau sok-sokan merasa tidak memahami perasaanmu sendiri, itu sebenarnya usaha sia-sia untuk menyangkal sesuatu yang sesungguhnya membuatmu malu. Beta berjaket bersarung begini menghangatkan diri.

Apa yang terasa seperti spiritual itu, yang dinamakan entah jiwa, sukma, sanubari, atau apapun itu, sesungguhnya tiada lain serangkaian reaksi kimia antara entah molekul atau senyawa dalam tubuh. Sungguh menggoda, seperti secercah atau sesungging senyum, apatah lagi ditambah sekerling, sekedip, sekernyit puncak hidung. Maka terbanglah aku dari Rusia membawa cintaku entah ke mana. Tentu saja tidak ke Amsterdam atau kota-kota lain di Belanda, atau sekujur Eropa, atau ke belahan manapun dunia. Cintaku ada di tepi Cikumpa sini, di pagi dingin sepi ini. 

Tidak di sini atau di manapun 'kumainkan permainan yang dimainkan para pecinta, sedang kaki telanjangku 'kualasi keset agar tidak langsung menyentuh lantai dingin. Aku heran mengapa belum pernah 'ku bercakap-cakap dengan Ubertino agak lama begitu, membicarakan dunia dan hidup di dunia. Bisa jadi ia menganggapku tak setanding dengannya, sedang aku merasa gengsi untuk minta belajar kepadanya. Lagipula ia telungkup mengimpit lantai di hadapannya yang menonjol sedikit, sedang aku berguling-guling berbaring-baring di kasur mahal termurah yang terbeli.

Lebih tepatnya lagi, aku menungging seperti ayam bakar, tanpa tahu malu mempertontonkan brutu, bahkan mencolok-colok lubangnya dengan jari sendiri. Di titik ini, dapat 'kupahami mengapa Donny mengusir gadis cilik itu. Gadis, meskipun cilik, mengandung anasir-anasir yang bisa membuat lelaki dewasa berselera. Begitulah memang kodrat dunia, seperti tragedi buah apel. Merahnya sangat menggairahkan, meski terkadang hijaunya lugu mempesonakan. Bahkan Johnny yang penyuka sesama jenis saja turut mengusir gadis cilik. Jangan-jangan ia berselera jua pada gadis cilik.

Aku akan baik-baik saja tanpamu, tanpa kalian semua. Sungguh aku hafal sekali permainan ini. Memang sudah lama sekali tidak 'kumainkan, namun tak pernah 'kusangkakan kini 'ku terpaksa memainkannya lagi. Keriangan melodi dan irama ini biasanya selalu membungahkan suasana hatiku. Namun pagi ini aku sedang sangat ingin memaki anjing-anjing betina yang beranak anjing-anjing betina, apalagi cuma satu. Langsung terbayang olehku yang moncongnya menjebik menjijikkan, diberi bergincu pula. Maka segera beranjak ke pelabuhan diriku, mencoba melupakannya.

No comments: