Tuesday, January 17, 2023

Orang-orang Huruf di Siang Mendung Berangin


Siang-siang begini mendung berangin di ruang bidang studi Hukum Administrasi Negara yang baru. Di hadapanku ada Hari Prasetiyo bermain gawai; sedang Pak Mono umek mencoba merapikan ruangan yang seperti Tampomas pecah, dibantu Fajar dan Pak Doddy. Orang-orang Huruf mengelus-elus pendengaranku dengan meletakkan kepalanya pada bahuku. Aku sedang tidak ingin berpikir, apa lagi mengitiki mengenai cinta, terlebih cinta dunia. Aku sedang sedih. Cinta di dunia ini tidak ada, seraya 'ku mengusir gadis-gadis kecil. Mereka 'kan 'njadi wanita dewasa.
Entri ini hampir saja berjudul nikmat tak seberapa membawa azab dan sengsara. Gara-garanya sambal. Entah sambal bakmi ji-em atau bubur ayam Madura, yang jelas salah satu atau keduanya menyiksaku siang ini. Padahal tadi pagi tidak terlalu terasa. Entah sekitar lohor ini sampai ususku yang sebelah mana, sakitnya amit-amit. Jejak-jejak cinta, apa rasanya mendengar ini ketika masih ada Delta FM 99.5. Setelah diganti jadi 100% musik enak, rasanya sakit sekali. Hampir sesakit usus kena sambal semalam. Aduhsay, sampai bulan, matahari, sungai dari mudaku.

Suasana sudah sedemikian jauh berganti. Tidak berarti ini hari atau bahkan waktu yang sama sekali baru. Bisa saja ini suatu siang hari yang gerah di tengah musim panas Belanda, bersepeda dari bilangan Uilenstede menuju Pusat Kesehatan Randwijk menyeberangi Beneluxbaan. Aku menyebut-nyebut tempat-tempat begini bukan gaya-gayaan atau memanas-manasi Togar, meski terdengarnya seperti itu. Seakan tempat-tempat itu biasa 'kukunjungi seperti menyebut Barel dan Sawo. Tidak begitu. Ini sekadar mengenai suasana hati yang selalu saja berganti-ganti.

Begitu juga teh tarik Maxx, tidak berarti itu adalah petang hari sebelum memulai hukum perdata dagang atau bahkan pagi sekali sebelum Pancasila atau kewarganegaraan. Teh tarik bisa di mana saja. Aku tentu lupa kapan kali pertama menikmatinya. Terlebih jika mendengar "Aku jatuh cinta" dalam bahasa Mandarin, di mana "di dalammu 'ku 'kan selalu berada". Itu adalah entah pisut atau renol melaju di bilangan Santa di siang hari bermendung. Jika sampai dilanjut serbat jangkrik mas, bisa saja langsung srusut meluncur ke Jalan Magelang-Jogjakarta di waktu malam.

Aku bahkan kini di Kathmandu. Dulu, sekadar mendengar suara Tante Olivia saja, berjuta angan dan khayal tentang cinta bisa menyerbu ke seantero penjuru benak bahkan sekujur badan. Sampai bergetar ke ujung-ujung rambut bahkan jari-jari kaki-kaki. Apakah kini, di usia paruh baya, aku masih berusaha memanggil-manggil kembali getar-getar itu. Aku sudah siap mencemooh diriku sendiri, ketika 'kudengar dentam-dentam bass dan hentak-hentak dram bass mengiringi genduk Tiara bernyanyi riang. Tentu, setua ini aku sudah malas bergetar, meski rasa itu masih ada.

Bagaimanakah Selasaku kini kecuali memulai strip-strip baru trio candesartan, amlodipine, dan bisoprolol, ditingkahi senandung genduk Brisia. Uah, aku langsung terhempas berhembalang kembali ke lantai biru tua Kraanspoor 25 D8 yang seperti lapangan futsal itu. Bisa jadi karena ketika itu aku sungguh kesepian; sepanjang tahun itu, 2020, dari sejak Uilenstede sampai Kraanspoor. Seperti halnya ketika terpaksa berak di Amsterdam Centraal dengan mengetukkan kartu bank; entah berapa Euro ludes gara-gara itu. Aku tak harus mati di 2006. Aku masih harus hidup.

Aku bukan lagi lelaki bodoh umur dua puluhan, meski masih bodoh juga setelah mendekati setengah abad begini. Bahkan mungkin bertambah bodoh, karena masih berasa jatuh cinta begini ketika genduk Stephanie menyenandungi. Ada waktu-waktunya memang seperti ini. Biasanya memang ketika mengetiki begini. 'Kurasa bukan berputar-balik, melainkan memang membolak-balik. Begitulah memang hati sanubari. Berdegup. Berdetak. Sistol. Diastol. Di Selasa siang berangin bermendung begini, tiada lain 'ku bersyukur padaNya demi tersadar: Aku masih hidup.

No comments: