Monday, June 19, 2017

Ratapan Anak Kambing Balap 25 Ramadhan 1438 H


Mungkin karena aku terlalu kesepian, aku melakukan sesuatu yang—kalaupun pernah—sudah lama sekali tidak kulakukan. Aku mengetik dahulu secara luar jaringan, (luring; offline) baru kemudian kutayangkan ketika ada akses internet. Terakhir kali melakukan ini seingatku di Kosan Babeh, sepuluh tahun lalu, dengan Fujitsu-ku yang gagah perkakas itu. Adakah aku merindukan waktu itu, atau semata rindu pada kemudaanku? Akankah kebugaran jiwa ragaku kembali membaik, sedang ini adalah penghapusan dan pengampunan tumpukan dosa-dosa? Insya Allah.


Bagaimanakah puasaku sepuluh tahun lalu? Aku hanya ingat adanya malam-malam di mana aku sulit tidur. Jam satu dini hari belum tidur sedangkan jam dua Masjid Khairatul Muslimin di Gang Haji Mahali akan mulai berseru-seru membangunkan orang sahur. Ada kalanya tidak bisa tidur bahkan sampai jam dua padahal setidaknya jam setengah empat sudah harus beranjak ke Barel, entah ke Sasari atau ke mana aku lupa. Di Warteg Jaya pernah mungkin beberapa kali. Aku justru lupa apakah pernah sahur di Mbak Yem.

Ah, kurasa aku benar-benar kangen masa mudaku. Apanya betul yang kurindukan? Ini nyaris seperti ketika aku merindukan entah apa di kamarku di Sint Antoniuslaan itu, akhir musim dingin 2009. Adakah aku merindukan ketidakpastian? Selintas teringat, sabun cair aroma lavender dan guyuran air hangat cukup menyamankan jiwa raga. Ya Allah, angkatlah penyakit hamba. Tunjukkanlah jalan menuju kesembuhan dan kesehatan yang sempurna. Ya Allah sungguh Engkau Pemaaf lagi menyukai permohonan maaf, maka maafkanlah hamba. Angkatlah penyakit hamba, Ya Rabb.

Haruskah hamba berjanji untuk meninggalkan segala kebodohan dan kesia-siaan agar Engkau mengembalikan kebugaran jiwa raga hamba? Mampukah hamba menepati janji itu? MAMPUKAN hamba, Ya Allah Maha Perkasa, Maha Penyayang. Jangan biarkan hamba menyia-nyiakan umur hamba yang tersisa dengan kebodohan dan kesia-siaan. Sebaliknya, ilhamkanlah, tunjukkanlah jalan dan cara menuju ampunan dan maafMu yang sempurna. Tolonglah hamba, Rabb, kasihanilah hamba. Ini semua tidak bisa lain adalah akibat dari dosa-dosa hamba yang memang mengerikan. Ampun Ya Allah, kasihanilah hamba.

Lebih mengerikan lagi... tiba-tiba saja kengerian itu melintas dalam benak. Bagaimanapun aku terlibat dalam kedzaliman ini. Lantas apa yang harus kulakukan? Ya Allah, hamba mohon diberitahu bagaimana mengakhiri ini semua. Sungguh terasa berat hidup hamba karena tanggungan beban dosa-dosa. Tunjukkanlah kepada hamba cara melepaskan beban ini, Ya Rabb. Jangan sampai berakhir waktu hamba di dunia ini sedangkan masih menanggungnya. Naudzubillah tsumma naudzubillah! Dapatkah dikatakan puasa Ramadhanku tahun ini imaanan wahtisaban? Ya Allah, sungguh aku mengharapkannya.

...seingatku aku sudah minta maaf. Lalu bagaimana kalau tidak dimaafkan? Apakah harus kuulangi lagi permintaan maafku? Mengapa tidak? Ini pun salah satu yang harus diperbaiki. Aku harus menahan hatiku untuk berbuat buruk, bahkan ketika tidak satupun tahu kecuali Allah. Siapa tahu dengan begini Allah sayang padaku. Dan tentu saja yang satu itu. Baru beberapa saat tadi saja aku sudah gatot nurmantyo. Ayo semangat! Ingat Yuli Cahyono! Tahan hatimu. Tahan lidahmu. Tahan tanganmu. Tahan matamu. Bukan dimatikan, melainkan dikendalikan!

Iya. Aku emang orangnya 'gitu. Marah. Meledak. Sudah itu sudah. Aku tidak bisa, tepatnya tidak kuat, marah lama-lama. Aku pada dasarnya seorang pecinta, seniman begitu. Ilmuwan jika itu artinya saintis jelas tidak. Budiman, Insya Allah, aku berusaha sedapat-dapatnya. Akan tetapi, seringkali aku gagal menahan diri. Lihat saja buktinya bertebaran di sini, di Kemacangondrongan ini. Yuli Cahyono, kusebut-sebut namamu berulang-ulang di sini. Aku memang tidak betah jenggotan, tapi aku akan berusaha jenggotan dalam hatiku. Insya Allah.

No comments: