Wednesday, June 14, 2017

Ramadhan Ini Mungkin Tentang Yuli Cahyono


...karena ia menolak untuk ikut membahas enam sembilan. Asepteven! Sementara aku asal-asalan sekali dalam urusan itu, seakan-akan Allah tidak pernah mengawasiku, astaghfirullah. Ini sangat inspirasional, mengapa aku tidak meniru Yuli Cahyono? Tidak ada gunanya pun asal-asalanku itu, membuat hati senang juga tidak. Ada juga menambah sakit, sedang menyakiti diri sendiri adalah jelas suatu kebodohan yang nyata. Setua ini, tidak ada waktu lagi menambah kebodohan, sedang Ramadhan 1438 H ini tersisa sepuluh hari saja. (hiks)


Demikian pula mengenai Kemacangondrongan ini. Apakah dengan ini berarti aku harus berhenti berolok-olok? Tidak lagi membadut? Tidak lagi membiarkan diri jadi tontonan orang? Membubarkan sendiri aliran eksibisionis yang kurintis sendiri? Bisa jadi. Terlebih Takwa tidak mau kapok, atau mungkin ini adalah jawaban atas doaku tanggal 15 kemarin. Jika pun aku moderat itu karena Islam mengajarkan untuk begitu. Moderat tidak sama dengan tidak mengambil sikap. Dan politik identitas, amboi! Apa itu politik? Apa itu identitas? Insya Allah, aku sekadar berusaha menggapai ridhaNya.

Aku yang tidak tahu apa-apa ini. Aku yang sekadar ingin mengenali Imam Mahdi ketika beliau muncul. Aku yang Insya Allah ingin sekali melihat huruf-huruf kaf, fa dan ra terpahat jelas di kening Masihud Dajjal. Aku yang Insya Allah ingin sekali mengenali Isa al-Masih as. jika beliau hadir sekali lagi di antara manusia. Aku yang nista, hina dina ini, mungkin tidak lebih baik dari Ephialtes anak Eurydemus. Namun, Insya Allah tidak akan kukhianati Allah dan RasulNya. Naudzubillah! Aku Bono anak Harnowo, ya Rasulullah! Terimalah baktiku!

...dan dalam keadaan seperti ini, Toccata membelai pendengaranku, seperti selalu saja dilakukannya sejak remajaku. Aku kini dalam kubik penampungan sementara pengungsi korban rezim, masih di sini. Aku memang cenderung begini, berlama-lama di satu tempat sedang angan dan khayalku yang mengembara. Aku bisanya ini, yang mana kalau dipikir-pikir tiada banyak gunanya, sedang kebutuhanku sepertinya banyak sekali. Keinginan aku tidak punya. Aku tidak tahu lagi. Kebutuhan ada, meski sungguh malu jika sampai merasa kekurangan.

Seandainya pun ikut ke Oslo buat apa? Sekadar dapat uang sakunya? Apakah di Oslo aku bisa menulis, satu-satunya yang aku bisa ini? Ahaha, gara-gara sambil ceting sama Cantik aku sudah dapat jawabnya. Aku mending mentahnya hahaha. Coba segala tiket, hotel dan sebagainya itu boleh mentahnya aja, tapi karena pasti tidak bisa ya udah. Ngapain juga. Hahaha, aku bukan halelepah, tapi kalau urusan ini suwer deh aku mending mentahnya. Jalan-jalan? Jauh dari pikiranku. Sudah kukata tadi, badanku harus diam agar pikiranku dapat mengembara.

Bagian ini diteruskan setelah shalat lohor berjamaah di Mesjid Ukhuwah Islamiyah. Ketika aku merasa malang, pada saat itu pandanganku tertumbuk pada bapak entah satpam entah siapa yang pernah kutemui sedang duduk terpekur dalam kegelapan mesjid sebelum subuh. Tepat ketika itu aku memohon ampun kepada Rabbku atas dosa-dosaku yang mengerikan, di hari-hari ketika Ia menyelamatkanku dari marabahaya lagi menutup aibku. Astaghfirullah. Naudzubillahi min dzalik, jangan sampai kufur nikmat! Sedang setelah itu masih saja berlumur dosa.

...sehingga kini! Lalu kau merasa malang, heh, Tolol! Aduh sayang buku Achmad Chodjim yang Membangun Surga itu malah kubawa pulang, kehujanan lagi. Padahal cucok sekali itu kubaca dalam suasana hati seperti ini. Kemarin bagaimana sih rencananya? Kalau tidak salah memang ia sengaja kubawa pulang agar aku fokus menulis di kantor. Toh, kemarin aku masih sempat membaca-baca antara setelah buka dan tidur. Baik. Insya Allah setelah ini akan kucoba menulis. Semoga Allah menolongku, meridhai, merahmati, melimpahkan berkahNya. Amin.

No comments: