Friday, November 16, 2012

Waktu Hujan, Sore-Sore Minum Kopi


Sumber gambar dari sini.
Sudah berbulan-bulan lamanya aku tidak berkeringat karena gerak badan, dan aku merasa bengkak. Sebuah cara yang ...bolehlah untuk membuka entri. Aku baru membaca-baca lagi sedikit entri-entri terdahulu di sini. Ada beberapa yang sangat bermutu, [air laut asin sendiri, begitu kata Cantik] selebihnya asal bunyi. Siang ini menjelang Ashar, aku seorang diri di Lantai Dua Gedung Dekanat FHUI. Mengenakan kemeja putih bergaris-garis merek Inokuh yang basah karena keringat, tadi sebelum Jumatan aku bertemu dengan beberapa siswa TN. Mereka sedang mengikuti lomba Sciencesational. Setelah menyapa mereka, memperkenalkan diriku, tiba-tiba aku merasa malas untuk terus berbincang dengan mereka. Mungkin aku malu. Aku masih kurang hebat bagi anak-anak TN yang suka memenangkan lomba. Aku tidak pernah suka lomba, apalagi pertandingan.

Ya, perut gendut ini sudah mulai mengganggu. Tidak begini seharusnya rasa badanku. Ritme harianku harus diperbaiki. Setelah Jumatan tadi, aku menemukan diriku diserang rasa kantuk yang amat sangat. Maka segera kumakan lontong sayur tadi pagi untuk alas minum kopi. Sesungguhnya tidak penting benar lontongnya, yang penting adalah kopi; dalam hal ini ABC White Coffee [hei, aku baru sadar. Dia benar menulisnya!] Aku menemukan kekuatan lebih karena mengingat-ingat kenangan menyenangkan dari masa-masa yang telah lalu. Aku tidak pernah terlalu bersemangat karena masa depan. Pernah tidak, ya? Sebagai seorang pengkhayal sejati tentunya tidak pernah. Masa depan selalu hanya khayalan bagiku, dan aku tidak suka khayalan yang tanggung-tanggung, seperti jalan-jalan keliling dunia. Khayalanku minimal mengenai mengetahui dengan pasti sejak kapan manusia hidup menetap dan mengembangkan pertanian. [benarkah demikian?]

Perut gendut ini bahkan sudah mengganjal bila aku duduk. Beratku sekarang setidaknya 90 kg. Sesungguhnya, ini alarm tanda bahaya. Bukan makan benar masalahku. Dari dulu kalau gendut juga bukan karena makan... semata. Mbak Yunis seenaknya saja bilang you look happy you gain weight. Ini adalah... suasana hati. Ini adalah dosa! Tepat ketika aku menulis ini, Matt mula mendengkurkan Dan Kita adalah Pecinta. Waktuku sudah tidak banyak, sudah kuhabiskan tiga dasawarsa lebih. Bagi beberapa orang, itu masih sedikit. Bagi banyak orang, masih banyak yang terbentang di hadapan mereka. Bagiku, aku tidak peduli. Entah mengapa aku bisa menjadi sefatalis, senihilis ini. Entah sejak kapan, terserah. Seperti biasa, aku menyalahkan nasib dan mengatakan bahwa aku berakhir denganmu. Ya, kamulah jodohku. Jalan yang kita tempuh masing-masing betapa berlikunya. Toh, kini kita bersama. Mari jalani sebaik-baiknya.

...dan maumu banyak! Wajarlah itu. Pernak-pernik akan selalu menjadi pernak-pernik. Bagiku, kaulah pernak-pernikku, karena aku hanya sudut kosong yang biasanya bersih dari apapun. Dari sudut itulah aku memandang dunia dengan segala kemasa-bodoan. Kaulah yang memenuhi sudutku, seringkali sampai tidak ada ruang tersisa. Begitulah memang seharusnya. Aku tidak pernah percaya mengenai suami harus mendidik istri. Aku memanggilmu sebagai "kamu" sebagaimana engkau padaku. Orang boleh berkata aku takut padamu. Bahkan aku tidak perduli meski orang mengatakan aku bagai kerbau dicucuk hidung. Jika kita saling mencinta, maka kita saling mendengarkan. Begitu saja. Seakan merasa sedang dibicarakan, engkau mem-bbm-ku; dan kubalas cium dengan emoticon. Aku menyayangimu. Biar seluruh dunia tahu. Bagiku, tidak ada bedanya sayang dan cinta. Bagiku, kata "cantik" hanya pantas untukmu; karena memang kamu Cantik.

Harus menulis tiap hari agar dua-satu

No comments: