Wednesday, November 21, 2012

Sepagian Hujan di Selatan Jakarta


Judul ini sudah tersimpan dalam benak sejak Minggu
ketika aku menyongklang Vario menyusuri Jalan Ragunan
Langit pagi mendung menitikkan gerimis seperti serpihan
terus sampai Radio Dalam

Oh, menjuntai dia! Menjulur melumuri sampah golekan kayu
jijik tersaput kotoran dan gudig dan tai kucing
Setiap saat, ketika ketumbar dibasahi, dilumuri
meski tidak selalu bisa ditahan

Selalu berganti-ganti
Tiap sesaat maka ia bersalin-rupa
dari sekelebat ganggang sampai sejumput bulu ayam
Mengguguk! Jijik!

Namun terus menetes ia mengalir-alir Nira Kelapa, yang cantik
seperti ibunya yang Jutek!
Atau mungkin tidak, karena bisa saja menguar itu
Bau pelangi bersepuh perak menjelenter dari guci emas

Ooh... Guci tembaga saja! Ada asam yang tak pernah dipunya
Sambal di gunung, rambak di laut jadi asin
Gurih! Meleleh ia, menjelempah ia, cekakar ia...
terurai, terburai, termangu, menangis?

Tidaklah... Jangan sampai. Takkan kau temukan kedamaian di sana
Lagu lama itu selalu saja menghasilkan kalimat-kalimat nirmakna
Sarat dendam seperti malam bersaput keju
Menyeruak seperti kabut ditepis sikat WC

Tepat di situ ada Sapardi
Ya, Sapardi Djoko Damono yang gambar burung itu
Tidak salah lagi. Marilah ziarah, mari takziah
Biar meleleh itu air yang terpendam dorman dalam hati yang luka

Ia di sana. Ia Hijrah meski aku tidak
Ia Hijrah? Aku? Dia? Ia di bawah pohon itu yang kini tiada
dalam sapu tangan di bawah pecahan genting
Dadaku menggeletar dulu dan sekarang, tepat saat ini

Ia Hijrah dibungkus sapu tangan, di bawah pecahan genting
Allah Illahi Rabbi! Jagad Dewa Batara!
Hijrahkan aku! Hijrahkan kami!
Ya Allah... kasihanilah

Ia yang ada karena terkaman rasa madu
di mana cinta adalah kedunguan dan kemudaan
bagaikan cilpasastra turunan sudra
atau kebo yang menuruti hawa

Kasihan ia. Aku kasihan. Dia tidak
Semoga dia tidak. Ia jelas tidak
Dimasukkannya ke dalam situ
untuk berterima kasih sesudahnya

dan sesudahnya adalah malam-malam panjang
di bawah terik bintang-gemintang
Setiap malam
sampai berakhirnya itu

Kini Mendamba menjontak-jontak senar bass di sepanjang Mersey
Mulutnya terkapar melipat-lipat sampai agak ke dalam yang gurih itu
Mendamba ada dua, karena untuk tiga sulit, perlu satu juta
Itu jika dermawan, yang mana gundulmu athos

Dan Maya... uh, suatu sapa, yang tidak akan pernah semampai
yang ditunggu selalu saja berlangkah-langkah jauhnya
bagaikan gadis dari Ipanema
Pipinya yang sepenuh hati mengoyak selangkang

Dilanda cemburu dungu
yaitu flute yang ditiup bibir tidak merekah tidak terkatup
Harus tepat di situ, sedikit ketiak sedikit bulu
bukan rambut yang merah putih itu

No comments: