Monday, November 05, 2012

Di Tepinya Sungai Cikumpa


Jika aku harus menyebut satu hal yang membuatku sangat setres selama menjadi taruna AAL, maka itu adalah disuruh menyanyikan lagu-lagu yang syairnya asal nyebut! Kami dulu suka menyanyikan Anchors Aweigh dan Zeeman, tapi sepertinya tidak satupun dari seniorku yang masih ingat bagaimana sebenarnya lirik lagu-lagu itu. Jadilah mereka asal bunyi pokoknya mirip dan kami disuruh menirukan. Sungguh, lagu-lagu itu sangat bagusnya, dan aku memang ingin menyayikannya. Akan tetapi, pada saat itu aku pun tidak tahu bagaimana liriknya yang benar; dan itu membuatku sungguh sangat tertekan. Bukan sekali aku membawa barisan atau berada dalam barisan yang isinya pelaut semua, lalu dengan sengaja aku memulai nyanyian dengan "Jiwa Komando...," karena lagu pelaut jelek-jelek! Bukan sekali pula aku dihukum karena itu. Entahlah sekarang sudah benar atau belum syair Anchors Aweigh dan Zeeman yang dinyanyikan para kadet.  Ini biar kukutipkan sedikit.

Blue of the Seven Seas, Gold of God's great sun
Let these our colors be till all of time be done-n-n-ne,
By Severn's shore we learn Navy's stern call
Faith, courage, service true with honor over, honor over all.

---dan---

Zeeman, waarom dromen
denk niet aan je thuis
Zeeman, wind en golven
roepen je van huis.

reff.
Jouw verlangen is de zee
en je vrienden zijn de sterren
boven Rio en Shanghai
boven Bali en Hawaii
en ze stralen op je schip
en ze lokken je van verre
die alleen blijf je steeds trouw
een leven lang.

Zeeman, waarom dromen

denk niet meer aan mij
Zeeman, want de vreemde
lokt je naderbij.
(kembali ke reff)

Semoga yang masih punya akses ke AAL ada yang membaca entri ini, agar tidak ada lagi kadet setres, seperti aku, gara-gara disuruh nyanyi asal nyebut. Stres, karena, kurasa, aku adalah seseorang yang kompulsif-obsesif. Aku terobsesi pada kesempurnaan. Bahkan sampai masuk FHUI pun, sekali lagi aku setres karena dunia akademik yang kubayangkan mulus tanpa cacat ternyata, dalam pandangan naif anak bocah, penuh dengan borok bopeng. Sungguh lambat sekali aku menyadari bahwa yang penuh dengan borok bopeng itu tidak lain adalah hidup di dunia itu sendiri. Aku meninggalkan TNI-AL, yang di mataku waktu itu sungguh menjijikkan, untuk masuk ke sebuah institusi yang, dalam pandanganku saat itu, tidak kalah menjijikkannya. Konon, almarhum Theodorus Sardjito yang termasyhur itu pernah berkata, ia mencoba keluar dari kampus karena kampus adalah tempat sampah. Namun ketika ia berada di luar, ia menyadari bahwa yang ditemuinya lebih sampah. Maka kembalilah ia ke tempat sampah. Semacam itulah.

Dalam dunia yang seperti ini, menghabiskan sore hari di tepinya Sungai Cikumpa sungguh merupakan suatu kenikmatan surgawi, ketika gemericik airnya seakan membasuh penatnya hati. Suasana seperti itulah yang dibutuhkan untuk mencipta, memperbaiki sel-sel yang rusak, meningkatkan kualitas keimanan... Insya Allah.  Sungai Cikumpa tidak lebar, tetapi cukuplah untuk menimbulkan bunyi gericik yang nyaman. Mungkin bunyi itu hanya dapat terdengar di musim penghujan seperti ini. Entahlah. Namun hujan memang selalu nyaman. Semoga yang diturunkan untukku dan orang-orang yang kukasihi adalah hujan belas-kasih, bukan hujan adzab naudzubillah tsumma naudzubillahi min dzalik. Setelah menenangkan hati dan jiwa di tepinya Sungai Cikumpa, aku melangkah ke mesjid dekat situ. Nyaman. Aku membayangkan diriku terbirit-birit menghampirinya, syukur-syukur lima waktu dalam sehari. Hanya saja, kenapa banyak anak kecil?! Apapun itu, berada di tengah-tengah orang-orang yang berusaha untuk selalu meramaikan masjid jauh lebih baik daripada bersama kebanyakan jenis orang lainnya.

No comments: