Saturday, November 03, 2012

Hidupku Bersama Para Wapresnya Pak Harto


Adam Malik adalah wapres pertama yang kutahu. Kurasa, samar-samar aku ingat balihonya dipasang di mana-mana kalau ada tamu negara, atau semacam itulah. Beliau menjadi wapres sampai aku kelas 2 SD. Kalau benar yang diceritakan orang, maka Pak Adam adalah seorang diplomat yang benar-benar lihai, ketika bersikeras bahwa ASEAN adalah forum kerjasama ekonomi; hal mana disetujui Pak Harto. Konon ABRI berseberangan pendapat dengan beliau, dan menginginkannya menjadi semacam pakta pertahanan. Pakta pertahanan mini ini, dalam suasana perang dingin ketika itu, kiranya tak ayal menjadi boneka NATO di Asia Tenggara. Seandainya aku sudah dewasa pada saat itu, kurasa sungguh menarik mempelajarinya. Akan tetapi, hari-hariku ketika itu adalah hari-hari seorang kanak-kanak yang sungguh ceria; kecuali ketika aku menghilangkan bolpoin Pilot yang dipundutke Ibu. Aku hanya ingat, entah majalah apa itu, seingatku dalam bahasa Inggris, ada cerita mengenai ABRI Masuk Desa. Kurasa, itu juga perkenalanku pertama dengan ABRI.

Umar Wirahadikusumah menjadi wapres sampai aku lulus SD. Tidak banyak yang kuingat mengenai beliau, kecuali wajah beliau pasti mengapit Garuda Pancasila bersama wajah Pak Harto di kelas-kelas SDN Pulo 01 Pagi, dari kelas 4 sampai kelas 6. Ternyata, Pak Umar memang bukan orang yang menonjol, karena memang tidak suka menonjolkan diri. Jadi, lebih baik aku mengenang masa-masaku sebagai murid SD di Kebayoran Baru saja. Dari semua kenangan, mungkin lebih baik kutulis sedikit mengenai kakekku Akung R. Talkuto. Semua majalah anak-anak yang terbit pada waktu itu dilanggankan bagiku dan adikku. Bobo, Kawanku, Ananda, Tomtom, sampai komik Mimin. Akung adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam hidupku, karena, ndikane Ibu, akulah cucu kesayangannya. Semoga Allah menerima seluruh amal baiknya, melipatgandakan pahalanya, menghapus semua dosanya, melapangkan dan menyamankan kuburnya sampai di hari akhir nanti, dan mempertemukannya kembali dengan semua yang disayanginya, atas ridha dan ijinNya, di surgaNya Jannatun Na'im. Aamiin.

Sudharmono menjadi wapres ketika aku mulai beranjak remaja, yaitu selama aku SMP sampai masuk SMA. Waktu itu, tentu saja aku tidak peduli siapa wakilnya Pak Harto, setelah yang ketiga kali, dan ternyata yang keempat selama Pak Harto jadi presiden. Meski ada juga ribut-ribut politik yang lumayan pada saat itu, aku sedang sibuk dengan diriku sendiri. Dulu Bapak pernah mengomando buku kecilnya Oom Novi Flugzeuge der Welt; dan saat itu aku sempat terpikir untuk jadi insinyur tukang bikin pesawat terbang, karena ternyata aku cukup pintar. Aku tahu pasti bukan itu yang kuinginkan, hanya saja Bapak selalu ngendika mengenai pesawat terbang dan dunia penerbangan yang digelutinya. Seingatku, aku juga tidak cukup pede membayangkan diri jadi tentara, karena aku sempat mengira fisikku tidak begitu baik. Begitu saja ketika kelas 2 SMP, Bapak menunjukkan padaku sebuah berita di Kompas mengenai akan dibukanya Sekolah untuk "Calon Pemimpin Bangsa." Begitu saja Bapak ngendika, "kalau hebat, masuk ke sini,"  dan masuklah aku.

Try Sutrisno menjadi wapres ketika aku hampir naik kelas 3 SMA. Sebelum itu beliau adalah Panglima ABRI yang menandatangani Monumen Pejuang di sekolahku. Seingatku, beberapa kali kusempatkan berdiri agak beberapa saat di depan Monumen itu, membaca kalimat-kalimatnya. "Landasan fundamental perjuangan bangsa Indonesia yang harus senantiasa dipegang teguh, dihayati, ditumbuhkembangkan, divitalisasikan dan diaktualisasikan penerapan dan pengamalannya, dalam semua sisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, adalah Pancasila dan UUD 1945." Begitu bunyi alinea keempatnya. Dulu aku sempat diisukan mengidolakan Pak Try. Jadi, ditulis dalam buku tahunan Angkatan II, karena idolaku Jenderal Try Sutrisno, maka bapakku pun jadi Harnowo Try Priyanto. Ya tidak begitulah. Sebenarnya yang kuidolakan pada waktu itu adalah seorang pamong graha yang kusebut Pakde Pomo, salah satu dari sedikit (atau mungkin satu-satunya?) pamong graha yang Marinir; ...and idol is something that we'll never be.

BJ Habibie adalah wapres terakhir Pak Harto. Sejujurnya, dari sekian banyak, yang paling tidak mengagumkan bagiku adalah yang terakhir ini. Beliau menjadi wapres ketika aku kuliah semester keempat. Waktu itu seingatku di Depok masih hujan. Waktu itu, sungguh aku sangat enggan mengingat-ingat waktu itu. Tak lama kemudian, hanya sekitar dua bulan, Pak Habibie jadi Presiden RI ketiga gara-gara Pak Harto "berhenti." Mungkin aku lebih suka adiknya, JE Habibie. Setidaknya karena kami pernah sama-sama mencicipi air Moro Krembangan, mungkin. Dengan yang terakhir ini aku pernah berjabat-tangan ketika beliau masih Duta Besar di Belanda. Aku bahkan pernah mengoreksi pidatonya, ketika beliau mengatakan dulu hanya ada tiga partai. Kukatakan, "mohon ijin, dua, Pak, yang satunya kan golongan karya." Ya, waktu antara BJ Habibie jadi Presiden dan JE Habibie kuinterupsi adalah waktu yang sangat... tak terlukiskan dengan kata-kata. Mungkin, hanya istighfar sebanyak-banyaknyalah yang mampu membuatnya menjadi... menjadi apa?

No comments: