Sunday, November 04, 2012

Tropico Dilanda Badai Petir Siang Ini


Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu.

Itulah yang terpikir olehku ketika mengetik ini menjelang tengah malam, padahal sudah kurencanakan dari pagi sekali untuk menulis entri. Memang benar sulit membuat entri setiap hari. Teringatnya, aku jadi orang tidak mudah tersinggung ‘kan? Iyalah. Aku ‘kan masa bodo. Namun kali ini aku benar-benar tersinggung, meski akan kusandi ketersinggunganku itu. Jangan menerapkan ukuran-ukuranmu sendiri pada orang lain, itu aku tahu. Dalam menulisi Kemacangondrongan aku tidak mencoba menerapkan ukuran-ukuranku pada siapapun. Ah, sudahlah, percuma saja dibahas. Aku bukan orang yang mudah mengatakan orang lain tidak tahu terima kasih. Lagipula, kenapa juga orang harus berterima kasih padaku? Kali ini aku benar-benar nyolot, tapi percuma saja nyolot. Tidak ada baiknya untuk apapun.

Ya sudah. Sekarang Paul Mauriat sedang memainkan Io Che Non Vivo. Mari dinikmati saja. Tadi pagi aku terpikir untuk meneruskan ceritaku mengenai Wapres. [cerita Wapres dari Shanghai!] Jadi, judulnya akan menjadi semacam remaja menuju dewasa atau apalah bersama wapres-wapres. Namun tadi pagi aku menelepon Ibu dan aku menjadi religius, sampai-sampai aku terbirit-birit ke mesjid ketika adzan Dhuhur. Selesai shalat aku makan bakwan malang dan membeli gorengan sampai Rp 14,000 banyaknya, karena ada dua anak kecil beli gorengan cuma Rp 3,000. Aku sendiri membeli empat potong tapi dikasih lima; lumpia,  tahu, tempe, bakwan dan tahu. Gak ada yang enak. Rebungnya pahit. Selain itu, aku juga membeli buku Seolah Melihat Allah dalam Shalat dan Menyusun Penelitian Tindakan Kelas untuk Cantik. Selesai makan gorengan, hidung dan setengah kepalaku terasa panas sehingga aku menggeletak di sofa biru sampai tertidur. Ada lah sekitar satu jam.

Gukguk dinenen macan. Kejadian sebenarnya di Cina.
Ketika itulah aku dibangunkan oleh... BADAI PETIR! Coba bayangkan, Kawan-kawan. Sendiri di Lantai 2 Dekanat FHUI yang gelap sedangkan gangnya dihiasi lukisan-lukisan guru besar jaman dahulu dan Kantor Sesfaknya dengan kubikel-kubikel dan ruang-ruang kosong, ditingkahi dengan gelegar guruh dan guntur sementara petir bersahut-sahutan dan kilat berkelebat menyambar-nyambar. Horor, kan? Itulah yang terjadi ketika aku terbangun siang tadi. Namun aku terus saja mengawasi pembangunan ekonomi negaraku, karena, seingatku, saat itu aku sedang sibuk membangun industri-industri. Para kapitalis di antara kami suka ribut kalau perekonomian terlalu tergantung pada sektor-sektor primer yakni ekstraksi sumberdaya alam. Maka, meski hasil dari pertambangan bijih besi lumayan, aku berencana mendirikan pabrik pengalengan kopi, juga furnitur dan perhiasan. Oleh karena itu, aku perlu mendirikan SMA, karena untuk bekerja di pabrik setidaknya harus lulusan SMA. Selain itu, aku juga mendirikan PLTG di balik gunung, yang berarti harus mengundang lulusan universitas dari luar negeri.

Coba aku bisa menulis selancar itu untuk membela kepentingan PMA farmasi di Indonesia. Bisa. Sepertinya, bagaimanapun aku butuh dua tempat yakni kantor dan rumah. Menulis seperti itu, seingatku, dulu selalu keselesaikan di Pusaka. Kini Pusaka Jalan Pepaya telah tiada, telah kukembalikan pada Bang Ipul. Pusaka yang telah menaungiku selama satu setengah tahun itu… Pusaka yang didirikan oleh PYMM Berhala Terkultus-individukan… Sopuyan memang keparat! Itu kalau kau suka menyebutnya begitu. Namun demikian, ia adalah salah satu orang yang nyaris tidak pernah kedengaran memaki yang kukenal sejauh ini. Jadi, jangan dimaki. Ia menyebut dirinya “kolega idiologis”-ku. Ah, seandainya kita “kolega koropsi,” masih adalah gunanya sikit… Aku tidak akan berhasil memaksakan sudut-pandangku padanya, seperti Gus Wandi yang bersikeras dengan “aliran Solo” dan “aliran Jogja”-nya. Sopuyan dengan segala yang diyakininya. Aku dengan segala yang kuyakini. Kurasa kami adalah rasa sakit di pantat bagi satu sama lain. Namun, apa haknya menyakiti hati keponakanku? Kualitas?! Tradisi?!

No comments: