Wednesday, August 25, 2010

Aku Lelaki yang Lebih Baik


Sahur ini, Ki Macan, setelah hampir dua tahun tidak pernah muncul, begitu saja menjelang dari kegelapan, seperti kebiasaannya [Ugh, koq mules lagi ya... Cepet amat reaksinya kopi ini] Ki Macan memang begitu. Semenjak perutnya terus bertambah gondrong, ia jadi banyak keluhan. Namun, pagi ini Ki Macan sedang tidak mau membicarakan perutnya. Aku menggunakan kesempatan ini untuk memperkenalkan Cantikku kepadanya. Tidak enak. Sudah beberapa kali aku melakukan rujukan eksplisit mengenainya, tetapi belum sekalipun aku mengenalkannya secara resmi pada Ki Macan. Pagi ini, sepertinya waktu yang tepat, sedangkan aku sangat merindukannya, seperti yang selalu kurasakan. Setiap waktu.

"Ki Macan... Aku ingin memperkenalkan Cantikku kepadamu." Ki Macan mengangkat alisnya yang gondrong sebelah, melirikku dengan kepala botaknya yang setengah tertunduk.
"Ia impian seumur hidupku, Ki Macan..." Sepi beberapa menit...
"Aku sudah bermimpi bersamamu jauh sebelum kau menyadari keberadaanku." Gumam Ki Macan memecah kesepian. [Seharusnya "keheningan," tapi sungguh aku malas menggunakan referensi langsung pada kata yang akhirnya menjadi nama istrinya Mayor Nawawi itu]
"Pakde Lenthu kemarin ngendika, tidak baik lama-lama membujang. Rasulullah Muhammad SAW pun membuat rujukan langsung mengenainya [Apa sih, dari tadi rujukan langsung melulu]. Bukan umatku, katanya, yang membenci sunnahku."
"Aku tidak membencinya." Tukasku defensif. "Lagipula ini bukan masalah bujang-membujang. Ini masalah impian. Hanya saja selama ini aku melatih diri sedikit lebih keras dari yang seharusnya untuk tidak menginginkan apapun. Apalagi bermimpi."
Ki Macan terdiam lama.
"Ia impianku sejak lama." Kini aku yang memecah kesepian.
"Aku tahu." Sambil berkata demikian, ia berangsur-angsur menghilang kembali ke dalam kegelapan.

Aku menyimpul sesungging senyum. Ah, Ki Macan memang begitu. Rasanya memang tidak mungkin berbagi perasaan romantis dengannya. Bukan berarti dia tidak menyukai Cantikku. Bukan. Dia hanya tidak tahu harus bagaimana. Ki Macan memang tidak terlatih untuk itu, atau tepatnya, ia melatih dirinya ke arah yang berkebalikan. Aku tidak bisa menyalahkan. Sepanjang hidupnya, setidaknya begitu dugaanku, ia melatih diri untuk tidak memberi wujud kepada impian-impiannya, karena mustahil Impiannya itu wujud selama dunia ini masih wujud, dalam benaknya, apalagi benakku. Impianku ini, kini berwujud. Ia berwujud gadis kecil, yang suka menangis berlama-lama untuk menarik perhatian. Bila akhirnya diperhatikan, ia akan memperkeras tangisnya, agar perhatian yang baru didapat itu tetap padanya. Ah, gadis kecil yang cantik.

Aku sangat menyukai suaranya. Seperti dalam impian. Suara itu seperti telah kudengar sejak lama. Suara yang membangkitkan gairah untuk mencinta. Gairah yang liar namun syahdu, seperti dua ekor harimau loreng satu jantan satu betina dilanda birahi. Saling menggigit lembut, saling mencakar mesra. Suara itu, seperti suara harimau betina yang tengah mengasuh anak-anaknya. Geraman lembut yang penuh kasih-sayang. Suara itu... sangat kusukai. Suara itu selalu kurindukan. Aku menyukainya sejak entah kapan aku tidak peduli. Maka ketika aku mendengarnya, aku langsung suka. Di sini aku kehabisan citra. Seandainya saja aku tidak harus susah payah merangkai citra. Seandainya saja, pagi ini, suara itu bukan sekadar citra. Seandainya saja suara itu, seperti adanya, hanya gelombang suara yang membentur selaput tipis gendang telinga, pun begitu membangkitkan hasrat yang paling purba. [Tidak boleh. Sudah masuk waktu shubuh. Ini bulan puasa]

Senin pagi sampai siang, kubereskan semuanya. Belum, ding. Hamid Chalid belum, seperti belumnya Kurnia Toha dan Andhika Danesjvara untuk urusan lain. Juga, seperti belumnya John Gunadi, apalagi Samsul. Namun aku merasa sudah, karena sudah atau belum itu masalah perasaan, bukan indikator kinerja apalagi pencapaian. Aku seniman bukan birokrat. Lalu aku pergi ke Pusaka bersama Sofyan sore harinya, naik Taruna. Aku urung menyongklang Vario, padahal Pertamax-nya sudah tiris dan harus kuisi. [Aku jadi ingat. Dia menemukannya lucu sekali, ketika aku mengangkat-angkat alisku sambil tersenyum pongah, berkata: Pertamax. Penuh! Aku suka ia menganggapku lucu. Aku suka ia suka.]

--Berhenti dulu shalat Shubuh--

Di Tanjung Barat membeli tahu petis dan tempe mendoan. Sofyan sedih karena serabinya tidak ada. Sampai di kantor belum buka, aku dan Agam mencoba Smash-nya untuk pergi ke Warung Padang "Mini Indah". Berbuka dengan nasi Padang (lagi?!), Sofyan cukup terlipur dengan kolak UKM yang kubeli. Dasar orang Sumatra! Belum berbuka rasanya kalau belum pakai kolak atau sepupu-sepupunya. Setelah berbuka, Rapat Senin tanpa kehadiran Sandoro. Rapatnya para seniman. Bahkan Sofyan yang paling medioker --dan, karena itu, terorganisir-- pun merasa dirinya seniman. Kalau tidak, mungkin dia tidak akan tahan berlama-lama denganku. Justru itu yang agak mengusikku. Aku. Farid. Sandoro. Aduh, kombinasi macam apa ini. Aku hanya berharap mereka mampu menunjukkan kinerja yang setidaknya setara denganku, terlepas dari dorongan-dorongan untuk berkesenian yang, aku tahu persis, selalu menggoda mereka. Justru itu juga yang pada kesempatan pertama membuat mereka tertarik padaku, kurasa. Okay, kids! Setidaknya lihat aku! Aku bisa sampai sini, kalian pasti bisa lebih jauh lagi!

Itu, jika kalian sepakat untuk membantuku mewujudkan impian-impianku. Beginilah kurang lebihnya notulensi Rapat Senin kemarin. Hahahaha, notulensi macam mana pulak! 'Kan sudah kubilang, ini rapat seniman bukan rapat kajian. Aku hanya bisa berharap, lukisan kami mencapai taraf estetika yang memadai, sehingga tidak seperti lukisan-lukisan murahan yang dijual eceran di pinggir-pinggir jalan, karya seniman-seniman tanggung itu [Maafkan aku, Saudara-saudaraku]. Sungguh, itu nista, dan kami menempuh jalan nista ini! Nista, karena kami sengaja menempuh jalan yang tidak biasa. Jalan yang tidak biasa 'kan biasanya becek berlumpur. Sungguh! Aku tidak menyebutnya jalan pintas! Aku melalui jalan ini karena aku MAU melalui jalan ini. Bukan untuk kemana-mana. Itu juga yang kutekankan pada bocah-bocah ini. Kalian ingin ketenaran? Kekuasaan? Well, aku tidak tahu, tapi aku bisa jamin, JANGAN CARI DI SINI!

Yang kuinginkan adalah PRODUK! Mari berproduksi. Kalian bicara Marxisme tetapi tidak berproduksi. Sama saja COLI! [Ini lecutan untukku juga] Bicara mengenai produksi... dapur kami dingin sekali! Pantas saja bocah-bocah itu pada sakit-sakitan. Sandoro mungkin masih terampil menggunakan akal sehatnya, tetapi aku mengkhawatirkan Farid. Ia sama bebalnya denganku, Si Bodoh ini. Semoga saja ia menemukan sesuatu cara untuk membuat dirinya sedikit teratur. [Sudah terang. Tadi, ketika kegelapan masih mengambang tipis di udara, Ki Macan melirik dari kegelapan, mengucap selamat tinggal. Aku balas melirik. Sampai jumpa, batinku. "Tentu," sahut suara batinnya. Aku lega.] Pula, gara-gara Si Bocah Gemblung ini aku menginap untuk kali pertama di kantor. AC-nya, Mak, mana tahan! Sakit semua badanku. Untung ada yang keluar sahur, jadi aku bisa keluar makan nasi Padang (lagi?!). Enak, sih.

Paginya Ditha Wiradiputra telpon, bertanya padaku, siapa ahli hukum pertambangan. Tidak pakai lama, kutukas: Ya, saya lah, Pak! Begitulah maka Insya Allah Kamis ini jam 09.00 kami akan bertemu Indonesian Mining Association (IMA), begitu kalau tidak salah, untuk membicarakan mengenai konversi kawasan konservasi menjadi wilayah pertambangan. Ahli atau tidak, aku berminat pada topik ini. Ahli atau tidak, aku, katanya, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum dan Sumberdaya Alam, salah satu subsidiary dari Djokosutono Research Center. Ahli atau tidak, ini dia yang terpenting, aku harus membuat bocah-bocah ngawur ini menjadi dosen, seperti yang seringkali terlintas dalam kepala ngaco mereka. Insya Allah, itu suatu kebaikan buat kedua orangtua mereka. Amin. Ada satu lagi. Ahli atau tidak, Insya Allah, gaji mereka bisa naik. Kata Farid, starting bagi fresh graduate di Ignatius apa begitu lima juta. We will reach that figure! Someday, somehow...

Sepanjang pagi sampai siang kemarin, aku korve di kantor. Sandoro berkomentar, di kantor ini tidak bisa dibedakan antara direktur penelitian dengan opas. Tepat itulah yang akan selalu menjadi ciri khas kantorku selama ada aku, sampai tiba waktunya kami mampu menggaji dengan layak orang yang bersedia melakukan tugas-tugas opas. Sebenarnya tiada seberapa sulit. Orang itu tidak perlu bekerja sepanjang hari. Seperti Pak Aceng, ia hanya harus datang pagi dan sore hari. Ya, nanti jika aliran tunai sudah lebih memungkinkan, akan kutugaskan Agam untuk mencari orang yang bersedia melakukan itu. Kemarin, perlistrikan dibenahi, mungkin masih berlanjut sampai hari ini. Insya Allah hari ini beres. Banyak juga habisnya. Dua ratus ribu lebih. Kabelnya, menurutku, masih terlalu kecil. Seharusnya Sandoro beli yang tembaga solid, bukan rambut. Semoga kuat.

Jikaku dapat menangkap bintang
sebelum ia jatuh ke tanah
Akan kutaruh dalam sebuah kotak
kuikat dengan pita sekeliling

'kan kuberikan padamu
sebagai tanda cinta
dan kesetiaan mendalam

Dunia menjadi lebih baik
jika aku dapat pulang padamu
Aku lelaki yang lebih baik
karena mencintaimu

Cantik, aku mengantuk sekali. Sekarang sudah jam enam. Sudah terang. Selalu aneh kalau berangkat tidur sementara hari sudah terang seperti ini. Akan tetapi, badanku masih agak remuk rasanya gara-gara digebugin AC dan kerasnya permukaan meja. Tidurku harus cukup. Aku mencintaimu. Selalu dalam impianku, suatu hari nanti aku bangun tidur dan menemukanmu masih pulas di sisiku. Mungkin, akan kukecup lembut bibirmu, tanpa membangunkanmu. Mungkin, aku akan berjingkat-jingkat bangun terlebih dulu menyiapkan sarapan untuk kita. Mungkin, anak-anak perempuan kita sudah bangun terlebih-lebih dahulu dan melakukannya. Mungkin, mereka akan membangunkan kita. Mungkin, kalau kau sudah terbangun, entah kau, aku atau kita berdua akan meminta mereka untuk menunggu sebentar... Mungkin. Sampai tiba waktunya, aku tidak keberatan untuk terus terbuai mimpi indah ini. Kini, aku tidak takut bermimpi. Kini, aku tidak takut berharap.

No comments: