Wednesday, September 08, 2010

Non Posso Vivere Senza di Te


Sungguh sulit menulisi kemacangondrongan setiap hari. Waktu terasa terlalu sedikit [...ditemani La Boheme, Paul Mauriat Greatest Hits Volume One, boleh ngedonlot waktu di Maastricht... Kurasa ini satu di antara yang terpenting yang kuperoleh dari Maastricht]. Aku ingin kembali lagi! Hahahaha... I can't believe I say that. Aku juga mau Ph.D seperti orang-orang itu. Semoga saja Ph.D-nya bisa sesuai dengan keinginanku, bukan asal Ph.D saja. Ya Allah, di akhir Ramadhan ini, hamba mohon ampun padaMu. Sungguh tak pantas penghambaan ini dihadapkan. Aampuuun Ya Rabb. Aampuuun [Masih ada hari ini dan besok, masih bisakah? Ayo, Tolol! Harus bisa! Hahaha kayak SBY].

Sekarang aku sedang mencuci di Yado. Sudah lama ini tidak kulakukan. Biasanya, tentu saja di laundry kiloan. Londre Kuning, terus terang kelebihanmu dari yang lain hanyalah kamu terdekat dari kosku. Sisanya... tidak ada yang betul-betul bermanfaat! Maaf, ya. Aku terpaksa meninggalkanmu, dan meninggalkan member card-ku di ATM BNI FHUI. Kasihan dia sudah berbulan-bulan menghuni dompetku. Kini entah di mana dia... Maafkan aku... Kini aku ganti mencuci di Ma Oleh. Masih empat ribu sekilo cuci komplit. Wow! Asyik 'kan. Aku juga pernah meninggalkan Bibi's. Tepatnya, sepulang dari Belanda, setelah tidak di tempat Babe lagi, aku tidak mencuci di situ lagi.

Akan kutulis judul calon disertasiku, Insya Allah, di sini. Awas ga boleh ada yang niru! [klo ada gimana...?] Codifying Local Wisdom: Institutional Framework and Strategy for Community-based Small-scale Fisheries Management in Indonesian Urban Coastal Areas. Coba aja tiru! Judul ini sudah beberapa kali mengalami perubahan. Sebelumnya, aku sempat tergoda untuk menggunakan judul Adat Fishery Laws, sedangkan adatstrafrecht, bahkan adatstaatsrecht saja ada! Oh, Van Vollenhoven Instituut, terimalah aku tahun depan. Oh, Pemerintah Belanda, berilah aku beasiswa [hahaha!] Akan tetapi, Codifying Local Wisdom mungkin lebih sesuai bagi konteks kekinian dan justru menjadi justifikasi mengapa harus dibimbing di Leiden, Insya Allah.

Sesungguhnya aku ingin membereskan proposalku pada libur lebaran ini juga. Ini gara-gara Jumat 3 September 2010 yang lalu, Wakil Duta Besar Belanda [aduh... siapa namanya ya?] berkunjung ke FHUI. Dia memberikan kuliah mengenai sumbangan Belanda pada perkembangan hukum di Indonesia. Hello! Yang paling utama ya Adatrecht lah! Katanya, our legal systems are like cousins stemming from the same grandparent, begitulah kurang dan lebihnya. Well, Bu, terserah deh. Semoga Allah mengijinkanku menuruti kemauanku yang ini. Aku mau Hukum Adat! [Sofyan juga mau hahaha...] Emang buat apa sih? Apa karena yang ini tidak terlalu menyakitkan? Tidak! Aku senang yang ini! Ini impianku!

Impian. Mungkin pada awalnya ada sedikit rasa iri, selain kekhawatiran utama berkenaan dengan kondisi persekitaran yang tidak lagi memungkinkan, ketika kamu semakin dekat dengan impianmu, Cantik. Sekarang sudah tidak. Sekarang yang ada hanya kesedihan tertahan. Selebihnya, aku senang kamu, Insya Allah, berkesempatan meraih impianmu. Aku mendukung dan membantu sebisaku. Meski kamu tidak akan bisa mencintaiku lebih dari mencintai dirimu sendiri [aku pun begitu, itulah sulitnya menjadi kita], kuambil kesempatan ini. But I'm willing to learn. I learn! Kurasa ini adalah terapi yang sangat baik untuk menekan kedirianku yang seringkali keterlaluan. Kuharap, begitu juga bagimu, Cantik. Let's improve together.

Urban (small-scale) fisheries. Aku yakin, para nelayan inilah yang merupakan pertahanan terakhir peradaban bahari Nusantara. Skala yang mana? Kukatakan, skala kecil, karena etos semi-subsistennya. Kenapa pergeseran ke arah ekonomi uang harus dianggap tidak terelakkan? Ini bagian penting dari ideologiku. Subsistensi. Berdikari. Bagaimana cara mempertahankannya secara ilmiah ya? Ayo berlatih! Lalu mengapa urban? Masa hanya karena perhatian terhadap yang rural sudah cukup banyak? Satu, karena ini merupakan wicked problem [Sok tau, emangnya iya?! Cek!] Tesisnya, justru urban waterfront, agar lestari, membutuhkan nelayan-nelayan ini untuk menjadi stewards of the environment. Well, banyak juga yang harus dipertahankan. Insya Allah, selama ada UI deepaccess, rebes! [duanya mana...?]

Senin 6 September 2010 lalu, Prof. Safri memanggilku sore-sore. Ternyata kerjaan terjemahan. AsiaLink Sourcebook on Human Rights and Good Governance. Hahaha... why would I care?! Because... because... because... it is worth four million Rupiahs! Alhamdulillah, karena aku masih harus keluar untuk saweran akta notaris. Akta notaris... tiidaaak... ini juga belum beres. Anggaran dasar! I really need to work. Depok is an ideal place to work at this time of the year. Sayangnya, sulit sekali cari orang jualan makanan... dan sepi [biasa 'kan?]. Malah jadi ada alasan untuk saben-saben makan borju di Detos atau Margo [bahkan makan saja sudah tidak menggembirakanku...] Jadi ada tiga. AsiaLink, Anggaran Dasar, Proposal. Begitu urutannya.

Kapan ke Leidennya...?! Tahun depan!

No comments: