Friday, February 17, 2023

Sebenarnya Maria Helena, Tetapi "H"-nya Tak Bunyi


Sejalan dengan merabun-dekatnya mata, kilau-cerlangnya dunia sudah tak lagi menyilaukan. Mengejutkan terkadang, membuat heran betapa kerjap-kerjapnya bagai sambaran halilintar; karena kerlap-kerling berlian tidak pernah mempesonakan. Jika selain Maria Helena masih ada Veronica apa mau dikata. Segala yang indah dan menyenangkan dari dunia ini memang untuk diraup dan direguk banyak-banyak, maka dua belum apa-apa. Tidak heran segala maharaja diraja sampai menumpuk banyak, hanya untuk ditanya kelak ketika segala kembali suwung: Siapa Maharaja Diraja di sini.
Bahkan ketika baru kedirian saja dihilangkan sudah terasa esoterisnya, maka 'ku kembalikan keakuanku. Maka sangatlah dapat dipahami jika lubang yang sembilan itu harus ditutupi. Kedua mata, kedua lubang hidung, kedua lubang telinga, mulut dan dubur serta qubul. Yang terakhir ini tidak dua pada satu diri, karena satu lagi ada pada diri lain. Padahal hanya seonggok daging namun mengaku diri, namun memang yang seonggok itu pula melenakan. Padahal baunya bisa sangat memuakkan lubang-lubang itu, namun dicari pula, untuk disumpal dengan kotoran jua.

Anjay, begitu menelusur esoterisme langsung entri pertama adalah wihdatul adyan versi yaqut, cukup membuatku muak padanya. Sedikit protein atau lemak teroksidasi masih tertahankan baunya, namun jika agak beberapa kilo darinya--karena sekitar 80% lebih adalah air--pasti memuakkan sampai terburai semua sarapan sampai makan malam lengkap beserta kudapan-kudapannya. Hei, 'ku berseru pada semua koprofil dan nekrofil yang sibuk melahap tahi dan bangkai, atau sekadar mencuil-cuil mengudapnya. Tanpa ayal, 'ku sembur dengan pelempar api.

Dari mana 'ku mulai bercerita mengenai betapa cinta semendalam ini. Cinta begini bukan tahi pada tahi, bangkai pada bangkai, melainkan diri pada diri, yang mungkin belum menyadari betapa sejatinya mereka satu diri, karena Diri memang hanya Satu. Ah, hentikan semua esoterisme ini, karena 'ku yakin hanya satu jalan yang akan menuntunku pada Diri yang Mencinta. Orang meremehkan pentingnya penyaksian, perbuatan nyata dari hati, pikiran, kesadaran, perhatian, hasrat, keinginan, idam-idaman, sampai seluruh anggota tubuh mengikuti. Orang meremehkan rasa aman.

Aku harus tegas, kini dan di sini juga. 'Ku berakkan tahi! 'Ku beraki tahi! Aku bangkai, masih bertahi, berlumur tahi. Berapa juta batang amirul uud, al khanjar, atau kiswah 'ku bakar, tidak dapat menghapus kenyataan itu. Beralih dari esoterisme ke fetisisme feromon sungguh tidak mudah. Namun jika benar-benar kau pejamkan matamu, kau santaikan rambut-rambut hidungmu, feromon dari jarak berapapun dari waktu kapanpun akan terhirup olehmu. Akhirnya, pikiranmu santai, sampai-sampai kau bisa mengajak tidur meski baru kenal, karena kau keong racun tidak lain.

Jika sudah begini, jangankan malu, kemaluan siapapun sepanjang masih satu spesies dan berbeda jenis tidak ada bedanya bagimu. Apa jadinya. Tentu tantrisme, Bodoh. Sampai di sini aku mengguguk seorang diri di pojokan gelap, menyadari bahwa ini semua tidak bisa lepas dari kolonialisme-imperialisme. 'Ku pandangi dunia yang terus saja cantik merekah di antara senggakan dan sengalan nafasku, lirih bertanya: "Adakah kalian sadari juga". 'Ku raup ceceran tahi di sekeliling bangkaiku, 'ku balurkan pedih-pedihnya pada luka-luka busuk bernanah. Kesakitan.

Di pojokan itu, penuh sampah belumpur berbelatung, 'ku pandangi dunia. "Ku pertontonkan pada siapapun yang lalu-lalang kemaluanku. Ini kemaluanku, mana kemaluanmu, lantangku. Jika beruntung, semburan ludah yang 'ku terima. Jika lebih beruntung lagi, dari seorang perawan kencur yang cantiknya mengalahkan seribu bunga taman sari dewa-dewa. Jika masih lebih beruntung lagi, ludah itu mendarat tidak jauh dari bangkai mulutku. 'Ku julurkan bangkai lidahku melata-lata untuk menjilat asam deoksiribo nukleat hidup itu. Bangkai mulutku merekahkan senyum.

No comments: