Friday, February 10, 2023

Pengharapan Hurung, Durung Meneh Penghurufan


Tenang saja, sekeras apapun kau memikirkan paradoks-paradoks kecilmu, takkan seorang pun peduli. Tidak juga anak perempuan yang kausayangi, sampai kau tak tahu lagi apa makna rumah untukmu. Hanya saja kemenyalaan tidak pernah pergi dari ingatanmu, sedang kau sendiri lebih suka keredupan. Bayangan, yang mungkin dapat kau temui di Lamongan sampai Ngawi. Menyala, memangnya menyala dalam gelap seperti tengkorak mainan halloween. Entri ini hampir saja berpenggambaran tengkorak, diganti penghurufan selamat datang ke duniaku yang cantik.
Warna-warna yang seperti gula-gula kapas ini memang kanak-kanak, meski tidak selalu kekanak-kanakan. Kepada siapa dapat 'ku berpaling jika tidak ada yang membutuhkanku. Kepada kamar mandi merangkap jamban berkloset jongkok di pojokan itu, yang berlantai merah tua itu. Bisa juga kamar mandi luas berkeramik putih yang tak lama kemudian kumuh, sehingga diubah jadi merah tua juga. Kepul-kepulnya asap rokok di kamar tivi berkursi malas plastik bisa jadi juga. Mengapa, tanyamu dari Depok kepadaku yang di Radio Dalam atau sebaliknya. Hanya itu saja.

Perangai buruk adalah hukuman. Pun tidak selalu buruk, maka terimalah hukumanmu dengan kepala tunduk, hei, orang hukuman. Sekarang 'kan jadi kenangan yang paling 'ku sukai, titik-titik air sedingin es bahkan salju sekali ketika berjalan sepanjang dermaga perusahaan dok kering dan galangan kapal Belanda di tepian Ij dalam. Mengajak seorang perempuan Cina untuk sekadar berbual di sekitar satu dua cangkir teh di Ij luar adalah suatu ketololan yang, 'ku rasa, tidak disengaja. Terlebih menonton perempuan cina dicium-cium bibirnya oleh anak kaukasian. Itu tolol juga. 

Hatta, kembalilah aku ke tempat di mana cahaya bintang bersinar tentu di petang hari. Tiada berhenti berlalu-lalang ketika itu yang, seperti sekarang, pun tiada gunanya. Hanya ingatan mengenai sakitnya kepala sedang berjongkok di jamban kotor, malah ngampar sekali di atas karena lebih bersih. Apa benar Jenny mengintip tidak akan lebih nista dari Eko menarik cuatan sarung Baron. Dunia ketika belum ada cebong-cebong dan kadal pun masih kebun bukan gurun. Itulah ketika aku kali pertama tahu bahwa ada yang bisa menyala, pun aku hanya membayangkan gula kelapa.

Aku tidak akan berkomentar, apalagi berharap, mengenai kemarin sekali lagi, apakah itu tukang kayu atau palank merah, apalagi Nicole. Aku tidak ingat apakah akhirnya bersama Nicol karena sesampainya di Inggris tidak ada yang menjemput. Entahlah. Apa peduliku pada kapal induk penuh pengantin yang justru membuang pesawat-pesawat terbangnya ke laut. Ah, cinta muda yang lebih baik 'ku kebatkan peluru bahu yang membulat karena kurang daging. Apa jadinya jika dini hari begini aku terjun ke dalam pintu air saluran irigasi itu lantas menyusurinya sampai Cisadane.

Hidup sebatas nasi uduk entah lima puluh perak berlauk bala-bala disiram kuah. Bisa saja 'ku daftar di sini nasi uduk-nasi uduk yang membekas dalam kenangan, namun nasi ulam daging 'ku rasa tidak termasuk di dalamnya, natura siaga el plus itu. Setelahnya soto meletup yang seingatku tiga ratus perak itu, selalu ada yang seperti itu di mana pun, bahkan di Akademi Teater Maastricht. Satu Euro dapat roti pentung berlapis selada telur atau kepiting bohong-bohongan, masih ditambah dengan sup satu mangkuk besar. Entah halal entah tidak itu makanan calon-calon aktor.

Betapa satu entri bisa melanglang buana ke mana-mana, merintang waktu seperti lompatan-lompatan kuantum. Jika 'ku lebih sehat dari ini, ya, artinya Jumat dini hari ini aku tiada begitu sehat, mungkin jelajahku lebih membahana, lompatanku lebih tak terduga. Bisa juga menjelajahi bebauan, melompat dari satu bau ke bau lainnya. Bau bisa dilukiskan, namun tak mungkin dibagi pengalamannya, meski kau mengendus-endus layar gawai atau komputermu. Bau ada yang sedap ada yang tidak. Bau sedap terkenang, bau tak sedap mengendap. Aku nyaris yakin ini klarinet.

Bukan kacang kastanye, apalagi kastanyet 

No comments: