Thursday, February 16, 2023

Angga Priancha. Anak KKI Pertama yang Jadi Dosen


Tidak mudah lho menggambarkan, terlebih jika di mata kaki kananmu ada seutas otot atau pembuluh yang bila kau pijat-pijat akan njarem nyetrum sampai ke jari-jari kaki. Di titik ini, aku belum memutuskan judul apapun untuk entri ini, meski satu inspirasi berdenyut-denyut di pelipisku, atau pipisku. Meski akhirnya 'ku putuskan begitu judulnya, seperti biasa, tidak berarti ini adalah entri mengenainya. Judul biasanya semacam kode lemah syahwat yang didesahkan lelaki paruh baya pada burungnya sendiri, atau bahkan bukan semacam apapun; cuma letupan, crit-crotnya tahi macan.
Malam mendekati tengahnya ketika aku sudah tidak sanggup apapun kecuali mengitiki, segelas air panas 'tuk basuh sisa-sisa susu prendjak yang tadi 'ku gelegak membasahi kerongkongan. Suasana hatiku sedang tidak di mana-mana kecuali merindukan nyamannya lapar, piano berkelentang-kelenting di pojokan lobi. Jika ini hotel bintang tujuh sekalipun, takkan mengalahkan nyamannya berkaos oblong angsa cina, bercelana pendek super jumbo boleh beli di ITC Depok. Malam ini panas tidak dingin tidak, namun ada yang berdenyut-denyut entah di mana, seakan ingin meletup.

Meski 'kususuri kembali jalan-jalan seputar Bangunrejo, mesjid yang mengumandangkan adzan subuh itu, dan lalu-lalang mulai reda apatah lagi hiruk-pikuk. Selesai shalat subuh sudah betul-betul sepi seakan tidak pernah ada keramaian. Wisma-wisma mulai tutup menggelap. Rumah tangga mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Apakah aku bergegas mencari taksi, adakah 'ku kembali ketika kawan-kawanku sudah siap-siap lari pagi di selasar-selasar Candrasa. Jika sudah begini, mau ikan paus, ikan teri, ikan lele, ikan kongtol sekalipun ingin 'ku letakkan di atas bata, lantas 'ku gecek dengan bata lainnya. Mejret. Jeroannya dimakan kucing. 

Bisa juga setelah dislepot bencong sontolmeongnya, lanjut menyusu pada simbok sampai hari terang. Seorang pelacur terlelap meringkuk di bale-bale, tersingkap roknya, tampak celana dalamnya. Dicarikannya sehelai selimut, diselimutkan pada tubuhnya, menutupi rok tersingkapnya, penampakan celana dalamnya. Hari sudah terang ketika lelaki melangkah keluar dari rumah pelacuran itu. Adakah ia sarapan setelah itu, bisa jadi telur balado atau kalio, bisa jadi juga peyek udang atau sejenisnya. Meski ke mana lelaki pergi setelahnya, takkan seorang pun mau memperhatikan.

Itulah sebabnya jika melihat mbak-mbak kuliahan, kantoran, atau yang sejenisnya, senyum tersungging di bibir yang kering menghitam penuh jelaga rokok berbagai-bagai merek. Ketika obat kumur disangka obat kuat, apa lagi mau dikata. Lubang di tanah sudah seperti kuburan belum diuruk, ditutup sehelai kardus entah bekas kulkas atau kompor induksi empat tungku, di dalamnya digoyang dombret mbah-mbah, ya, itulah di Puri Misteri. Hidup berlanjut, namun ingatan tak beranjak dari comberan-comberan penuh sarang tikus berpantat botak, ya, cinta itu terus berlanjut.

Kini, ketika pura-pura peduli pada deforestasi atau abu batu bara, masalah hukum apa yang timbul, slontongan tidak pernah berhenti dikunyah-kunyah ketika masih lembek, dikulum maju-mundur ketika sudah keras, sampai terburai itu tahi macan di pangkal tekak. Nyatanya, kaki-kaki masih tertanam dalam di lumpur dasar comberan, geli rasanya jari-jari kaki digerak-gerakkan. Kepala tegak terhormat meski membotak, tak bisa melupakan hangatnya kasih-sayang yang diberikan simbok, simbah, atau entah siapa dia, memanggil-manggil Mas Manto sambil mengerang-erang.

Rekan sejawat memujinya sebagai kuntilanak, meski sejujurnya, rambut Suketi atau Katemi jauh lebih bagus dari itu. Rambut ketiaknya, seperti rambut kepalanya, pun kribo, tetap kentara meski dicukur cepak. Foto yang diambilnya entah tetap disimpan meski berganti ponsel pintar android yang sekarang murah. Ada lagi berhiaskan kalung emas besar di setentang dadanya yang gemuk. Pesan-pesan pendek nan tak berdaya, seperti dirinya, dilupakan oleh datang perginya tahun yang terus berganti. Sedang jiwanya pulang, ia mati di taman kota itu, terkena penyakit kotor.

Hari Prasetiyo Ogah Menggantikanku Jadi Keset. Budak

No comments: