Wednesday, February 22, 2023

Kisah Cinta, Kisah Batang Permen Lunak Dikunyah


Masa 'ku awali entri ini dengan pertanyaan mengenai dari mana 'ku mulai, ketika makanan tidak pernah benar-benar jadi masalah secara kuantitas. Bahkan aku pernah membuang seplastik penuh dendeng manis gara-gara dengan tololnya 'ku buat lodeh, malah jadi kolak daging dan sayur; 'ku buang di selokan. Menunggu datangnya trem nomor 26 jurusan Ijburg sudah pernah 'ku lakukan, dan rasa kesepian itu bukan main. Aku suka di sini, tak pernah 'ku sendiri meski sepi. Sunyi, sepi, sendiri adalah perpaduan yang kurang baik bagi orang yang secara mental beranjak tua.
Di luar rintik hujan mengelus membelai cucuran sebelum lagumu berakhir di penghujung pagi menjelang siang. Sungguh menarik suasana yang ditimbulkannya lahir batin, terlebih dengan penggambaran batang permen lunak berkaramel berlapis krim coklat. 'Ku t'lah ditinggalkan dan meninggalkan. Dua-duanya sama-sama meninggalkan rasa sakit tumpul di ulu hati, meski demi apapun bintang toedjoe tidak mungkin diakronim jadi Bejo. Kasur dakron lipat bergambar Tayo dan bantal Canon klasik yang dulu 'ku punya, sekarang menemaniku lagi di sini: Cuma Rp 118.000.

Adakah jika hujan berhenti aku 'kan pergi ke Alfamart, membela-beli seakan banyak uangku. Rejeki yang luas bentuknya bisa apa saja. Setiap entri yang 'ku kitikkan pun merupakan pertanda adanya rejeki padaku. Seandainya saja aku punya waktu dilanjutkan dengan tahukah kau ke mana kau akan pergi memang berasal dari waktu-waktu melewati kantor redaksi Kartini dan Ananda, yang banyak antenanya itu di atasnya. Tentu tidak setinggi yang di Radio Dalam. Dulu tampak baik dari kursi malas di teras atau jendela kamar tamu ke arah kebun belakang berpohon pipisang.


Aquarius baru saja berlalu, sampai aku berpikir akankah 'ku warnai biru alinea ini. Untunglah baik Jojo maupun Loretta Martin yang manis diteriaki ibu-ibu mereka masing-masing: "Kembali!" dengan suara organ tiup dan flut yang sebenarnya kocak; entah mengapa begitu tafsirnya. Akan halnya sesaset bejo 'ku tenggak lagi setelah memakan sepotong beng-beng mini dan dua keping biskuit marie, 'ku basuh saja dengan seteguk dua air hangat. Terlebih jika semangkok mie ayam bersambal jempol apo ronju masih dilanjut empat potong gorengan, dua oncom, satu cireng, satu bakwan, pembasuhnya pun teh botol yang 'duhai manis sekali.

Bersama Isadora dalam ketukan dua pertiga begini, entah mengapa aku ber-waltz ria ke Gedung yang dulu bernama POMDA di awal 2010-an. Di depan sekali langsung ada lapak gigitan kedua, tepat di emperan bakwan malang yang pernah jual nasi bogana juga. Di belakangnya ada goodank milik bekas adik iparku, dan jauh ke belakang sana ada Kantin Via. Uah, akhirnya 'ku ingat juga nama kantin yang menjual masakan-masakan Jawa tradisional itu. Di situlah Dedy Sudedy bertanya apakah aku masih bisa menyantet, sedang maksud sebenarnya ialah memelet Asmirandah.  

Sudah kurang lebih lima belas tahun berlalu dari waktu-waktu itu, ketika aku bangun tidur agak siang lantas terpikir makan bakwan malang atau gudeg Via mengajak Dedy Sudedy. Kini Dedy Sudedy beranak banyak, tak 'ku sangka dari waktu tiba-tiba ia relijius di Gang Pepaya sana, sedang biasanya menjodoh-jodohkan binatang atau tutup botol sekali. Aku pun tak percaya jika tidak banyak yang berubah padaku kecuali bahwa aku minum tiga macam obat darah tinggi setiap malam sekarang dan lebih berat sekitar dua puluh kiloan. Selebihnya, meski tak pernah lagi membeli puding mentega di omongan roti, aku masih teramat menyayangi Ibuku. 

Seperti sering 'ku lakukan di entri-entri terdahulu, disengaja atau tidak aku mengabadikan suatu waktu. Seperti sekarang ini, dalam waktu kurang-lebih setengah jam aku akan mengajar hukum koperasi lagi dalam Bahasa Inggris. Kini aku masih di tempat persembunyian menyanding semug dies natalis ke-91, yakni 2015, kopi susu jahe, ditemani orang asing dari Venezia. Benar-benar suatu perpaduan yang aneh, karena orang asing satu ini sudah menemaniku entah sejak kapan. Setidaknya dari hari-hari mengerikan di awal 1996 itu, hampir tiga puluh tahun lalu: Hati, hidupku.

No comments: