Wednesday, August 05, 2015

...karena Aku Benar-benar Jatuh Cinta Padamu


Love, Oh Love adalah lagu tema di sebuah ruang tamu yang sedang ditinggalkan pemiliknya, sedangkan aku menikmati sound system-nya yang agak lumayan 'lah pada jamannya. Sony, seingatku—yang aku lupa, apakah saat itu aku merokok atau tidak. Merokok ‘kan bisa di depan pavilyun, di bawah pohon nangka, tidak perlu di ruang tamu Pak Moussa Elkhadoum. Merokok apa saja, Sampoerna King Size juga mantap, jika Bentoel biru terlalu membangkitkan kenangan-kenangan pahit dari masa-masa yang lebih dahulu.

Kenangan-kenangan yang manis-manis pahit, pahit-pahit manis. (bitter sweet) Kepahitan yang dibalut manisnya hidup muda usia, kasih sayang orangtua, persahabatan. Semuanya membalut marah dan malu tak berkesudahan, yang akhirnya manis saja yang terkenang—semanis Sampoerna King Size, meski belum semanis Djarum Super. Kenangan akan udara malam yang lembab di awal 1996, asap rokok, mungkin segelas besar kopi, bisa Morning Coffee, bisa Kapal Api Spesial. Bapak Ibu waktu itu hanya beberapa tahun lebih tua dari aku sekarang. Mereka masih muda dan perkasa.

Satu pavilyun dengan cahaya temaram itu punyaku semua, karena Adik di Asrama UI dan hanya pulang di akhir minggu untuk apel ke Panglima Polim II. Aku... tidak apel. Aku tetap di pavilyun yang temaram, entah dengan tulisan-tulisan entah apa, entah dengan kenangan-kenangan pahit sebagai pelaut yang baik, [a good sailor, a darn good one] terkadang dengan asap rokok namun selalunya kopi. Mengetik tentu saja dengan Ami Pro, mencetak tentu dengan dot matrix, terkadang sampai jauh malam, sampai malam-malam tak tertahankan lagi.

Apa yang salah denganku? Kenanganku berhenti manis sejak aku beranjak akil balig. Sepanjang akil balig sampai hari ini, kenanganku melulu manis-manis pahit, pahit-pahit manis. Mengapa? Apa yang salah denganku? Apakah semua orang seperti aku? Apakah semua orang yang “biasa-biasa saja” seperti aku begini, manis-manis pahit, pahit-pahit manis? Kenangan-kenangan, mengapa kalian tidak berhenti menghantui, sedangkan kalian tidak manis saja tetapi ada pahitnya, bahkan banyak? Jangankan yang sampai jauh ke 1996—hampir dua puluh tahun yang lalu—yang hanya sepuluh tahun lalu pun [masih] begitu.

Tepat dua puluh tahun yang lalu, telah sehari semalam aku menjalani hidup dalam Ruang Karantina Penyakit Menular Tempat Perawatan Sementara Akademi TNI Angkatan Laut. Hari-hari yang begitu saja sebenarnya sudah sangat nista, tetapi malah kutambahkan kenistaannya. Ada hari-hari ketika aku bisa memandangi selasar yang menghubungkan gedung-gedung Candrasa dari pantry TPS—memandangi sungguh tidak tahu malu. Ada juga hari-hari ketika aku menonton tivi bersama para antap dan sipil jaga sambil berbagi rokok—sekali lagi tanpa rasa malu.

Sekitar sepuluh tahun yang lalu, mungkin aku sedang mainan Sedaun. Mungkin aku sedang naik angkot ke arah Pasar Rebo atau Kramat Jati itu—sehingga terasa lemas sekali sedangkan kukira aku dehidrasi. Aku ingat ketika itu saja aku sudah mengeluhkan lambungku pada Pak Erland. Aku ingat ketika itu aku berusaha keras mencari uang, entah mengapa. Sampai-sampai, sekitar September aku pulang ke kamar pojok kost-an Babeh dengan  badan terasa sangat lemah dan kaki dingin. Singkat kata, malam itu juga aku dilarikan ke Pasar Rebo dengan dugaan demam berdarah.

Sudah 'lah. Setelah itu hampir semua perasaanku sedikit banyaknya terekam di sini. Selalu seperti itu saja semuanya. Manis-manis pahit. Pahit-pahit manis. Selama ini masih banyak bolongnya. Ada bulan-bulan yang tidak terekam sama sekali. Seperti sekarang ini, seharusnya kucatat bahwa sudah beberapa hari ini udara tengah malam dan pagi hari terasa dingin sekali, sampai pagi ini setelah Shubuh aku melanjutkan tidur berselimutkan bedkaver tebal. Pagi ini seekor kodok yang menjadi mangsa ular dilepaskan oleh Cantik. Ularnya kembali memanjat tembok ke hutan bambu seberang.

No comments: