Friday, January 23, 2015

Mahkota Seleraku yang Sedap Sekejap Itu


Berlatih menulis tiap-tiap kali lima ratusan kata sebenarnya merupakan kebiasaan yang baik. Akan tetapi, gagasan-gagasan dalam tiap alineanya haruslah runtut. Sedangkan aku di sini menulis seenak-enak hatiku saja. Banyak hal sebenarnya yang harus kutulis. Namun daya tarik menulis asal-asalan selalu lebih kuat dari yang mana pun. Seperti malam ini, ketika badanku sudah terasa lebih enak, hal pertama yang terpikir olehku adalah menulis. Sayangnya, menulis di sini, yang tidak akan banyak faedahnya ini. Tulisan, kata-kata, ujaran ini.

Beberapa hari ini cuacanya agak lucu. Menjelang shubuh hujan mulai turun, biasanya didahului dengan kilat dan guruh bersahut-sahutan. Setelah itu hujan tidak pernah benar-benar berhenti, bahkan hari ini sampai lepas Ashar. Akibatnya, dari pagi sampai sore bawaannya ingin tidur saja; dan memang enak sekali tidur dalam cuaca seperti itu. Sebaliknya, malam yang menurut ramalan cuaca berawan menjadi tidak nyaman untuk tidur. Itulah sebabnya, sudah hampir jam sebelas malam, aku baru bersemangat melakukan sesuatu; dan itu, sialnya, adalah menulis-nulis di sini.

Uah, Rendesvouz au Lavandou ditingkahi dengan kenangan akan Majalah Sedap Sekejap, bahkan Majalah Selera. Sungguh masa kecil yang indah. Tidaklah akan aku penasaran karena telah mengalami masa kecil seindah itu. Meski ia tidak mungkin kembali, aku sudah mengikhlaskannya. Bahkan jika hidup dewasaku kurang-kurang bahagia sedikit, tidak menjadi apa. Cukuplah bagiku ketika kecil pernah membaca seekor kuda yang mati tertimpa mempelam, dan Bapak yang selalu ribut masalah bahasa tentu saja meributkan hal itu. “Apa itu mempelam? Pelem?”

Lucunya, Lobo yang satu ini, Don’t Expect Me To Be Your Friend, tidak mengingatkanku akan masa kecil. Ini justru membawa pada salah satu masa terkelam dalam kehidupanku. Mess Pemuda. Seperti apa dahulu hidup di situ? Ada satu kesamaan dengan masa sekarang. Aku sama-sama gendutnya pada saat itu. Gendut sekali! Subhanallah, kapan itu, hampir lima belas tahun yang lalu. Hitung-hitung ada yang menjalaninya, dan itu aku. Aku bersama beberapa jiwa tersesat lainnya. Di situ. Mess Pemuda dengan Witch Grandma-nya, yang rumahnya ancur ibunya mati.

Lalu ada jejak-jejak cinta. Apakah itu? Samakah ia dengan cerpen-cerpen yang pernah kubaca di Bobo, Kawanku, Ananda? Jelas ada cinta di sana. Cinta Bapak dan Ibu padaku, sampai-sampai membelikan majalah-majalah itu meski bekas. Hei, entri ini jadi mengenai majalah, meski bekas! Ada pula cinta Akung padaku, cucu kesayangannya, yang mendorongnya membeli majalah-majalah baru tiap minggunya. Bahkan sampai Mimin! Anak tidak bisa lain harus dibesarkan dengan cinta. Aku kenyang dihajar habis-habisan, (H3) namun hanya cinta yang kukenang.

Majalah Selera itu, beberapa eksemplar, juga semacam buklet Mahkota Selera, beberapa eksemplar juga, semua itu cinta. Sempat juga, setelah episode Mess Pemuda yang pahit dikenang manis ditertawakan, cinta itu kembali menyelimuti dalam bentuk Majalah Sedap Sekejap. Kurasa entri ini dipicu oleh percikan kenangan tentang mi rayud. Terselip sesungging sedih ketika ternyata hanya satu entri mengenainya dapat kutemui di gugel. Arroz con pollo panameño, aloo matar bhaji, adalah beberapa nama aneh yang kutemui di Majalah Selera, yang tak bisa kulupa bahkan sehingga kini.

Lucu jika mengingat betapa arroz con pollo panameño, aloo matar bhaji dilanjutkan dengan mi rayud menemaniku ke mana-mana. Mereka bersamaku ketika aku memandangi plafon Graha 3 menunggu kantuk. Mereka bahkan bersamaku ketika aku jaga serambi di Barak Ton 3 Kotakta A. Mereka menemaniku ketika aku nyoro sebentar di balik tangga Gedung Wiratno sebelum lari pagi. Mereka menghiburku dalam malam-malam mengerikan, malam-malam jahanam yang entah mengapa sampai hinggap dalam kehidupanku. Mereka selalu bersamaku, sampai kini, nama-nama aneh itu.

No comments: