Tuesday, January 06, 2015

Pulau Penutup yang Berniat Jahat


Sebenarnya malam ini aku ingin mendengarkan Raindrops Keep Falling On My Head, tapi baru kusadari kalau aku tidak punya lagu itu dalam koleksiku. Oh, betapa kini mendengarkan musik begitu mudahnya. Aku belum pernah memeriksa dengan seksama nasib industri rekaman dewasa ini. Aku cuma sedikit ingat kalau, katanya, sekarang lebih lebih untung jualan ringtone dan ringbacktone (RBT) daripada bikin satu album penuh. Itulah mungkin sebabnya banyak penyanyi atau band yang lebih suka merilis single daripada satu album penuh.

Apa bagusnya menulis begini ya? Satu gagasan tiap satu paragraf, satu sama lain saling tidak nyambung. Jadi, kata Mas Santo, aku termasuk yang “tengah-tengah,” artinya ditolak tidak, tapi direkomendasikan juga tidak—jika bukan karena pengalamanku. [pengalaman?] Penyebabnya karena aku suka “melompat-lompat.” Ya, seperti entri-entri Kemacangondrongan ini. Seno Gumira misalnya, meski ide-idenya gila, tapi—seperti biasa—aku merasa dapat melampaui kegilaannya. Mengapa harus adu gila? Mengapa tidak adu prestasi seperti yang membuat bangga Mas Topo dari antara mahasiswa dan kolega dosennya?

Jika aku patuh pada pakem Kemacangondrongan, seharusnya tidak kuteruskan gagasan dari paragraf sebelum ini. Maka kupatuhi. ‘Tuh ‘kan giliran yang engga-engga begini aku patuh. Jelas saja, aku sangat pandai bikin-bikin APC dan sebangsanya. Setelah setua ini, semua itu lebih baik kuakui sebagai kebohongan belaka. [...kecuali Ruang Karantina Penyakit Menular, ini memang benar-benar ada di TPS AAL. Ada dua ruang, setidaknya sepanjang 1995] Dulu, aku biasa berkata membual itu berbeda dari berbohong. Membual itu ada kenyataannya. Hanya saja digelembungkan.

Tidak! Itu sama saja dengan bohong. Semut memang ada yang besar, tapi kalau ada semut sebesar kucing, itu bukan bualan. Itu bohong! Jadi aku adalah kopral taruna keple yang pura-pura sakit biar dikeluarkan. Mengakui ini saja rasanya sakit. Apalagi jika harus mengakui punya istri yang skizofrenik, yang membunuh anak-anakku, yang kemudian kubunuh. Jahat. Jahat sekali orang yang terpikir untuk berkhayal mengenai cerita seperti itu dan membaginya pada banyak-banyak orang di seluruh dunia. Tidakkah ia tahu bahwa yang seperti itu dapat menyakiti... aku?

Kesendirian adalah lobotomiku. Jika aku sendiri, aku tidak perlu membiarkan orang lain menyakitiku. Begitu aku sakit, segera kuhindari. Hanya dengan cara begitu aku dapat tampak seperti normal. Aku sungguh tidak lucu, karena berbicara terus-menerus mengenai diriku sendiri. Mengapa tidak kuceritakan pengalaman orang, kejadian-kejadian menarik, makanan enak, perjalanan, tempat-tempat yang indah? Bahkan sejarah saja kusesuaikan dengan seleraku. Oh, aku monster. Satu-satunya yang menahanku adalah tidak terimanya aku jika Ibuku melahirkan seekor monster. Aku bukan monster. Aku anak Ibuku, yang paling tua.

Adikku tiga, tapi aku sudah tua. Begitu juga adik-adikku. Biasanya jika sudah begini, aku berdoa-doa. Ini saja akan kuterbitkan secara retroaktif. Tidakkah itu juga suatu bentuk kebohongan? Penyangkalan akan diri sendiri? Tidak. Adikku tiga. Anak-anak Bapak Ibuku yang hidup ada empat semuanya. Aku yang paling tua. Meski adik-adikku akan baik-baik saja tanpaku, itu tidak mengubah kenyataan bahwa akulah kakak mereka yang paling tua. Dan masih saja aku menulis-nulis ngga karu-karuan begini. Disertasi bagaimana? New Zealand?


Mana Niat Jahatnya?

No comments: