Monday, January 07, 2013

Lambang Model Catik, Bahenol, Berpakaian Minim


Melissa Th'ng Model Babi
Judul dari entri ini sesungguhnya adalah suatu terjemahan sangat bebas dari tulisan di punggung jaket seorang ibu-ibu berjilbab, yakni, "Playboy. Symbol of Beutiful Voluptuous Scantily Clad Models." Memang benar begitu. Beutiful tidak pakai "a". Lengkap pula dengan gambar kepala kelincinya. Ini kulihat ketika aku sedang memacu Vario sepanjang Jalan Kemakmuran, Depok II. Ketika itulah aku melihat ibu-ibu itu dalam boncengan sebuah motor. Ia duduk mengangkang dan jaketnya bertuliskan itu, padahal ia berjilbab! Sungguh, jaketnya terlihat murah. Iya lah. Apa yang kau harapkan dari sebuah jaket bertuliskan demikian, beutiful pula! Oh iya, di punggung jaket itu tertulis juga "Since 1953."

For one, sejarahnya cukup akurat. Gara-gara ini, aku jadi menyesali kenapa harus hilang itu satu huruf "a". Jika tidak, jaket itu akan menjadi busana yang haute couture bagi si ibu, yang aku yakin pasti akan terlihat chic sekali memakainya; terutama karena fakta sejarahnya itu! Seorang ibu-ibu berjilbab duduk mengangkang di boncengan motor, mengenakan jaket bertuliskan "Playboy. Symbol of Beautiful, Voluptuous, Scantily Clad Models. Since 1953." Adakah yang bisa lebih inspiratif dari ini untuk memulai hari? Tidak mungkin. Ini sudah mentok! Ini pencapaian. Pencerahan. Namun demikian, mana kita tahu ke mana tujuan ibu itu 'kan? Bisa saja kita berandai-andai ia sedang terburu-buru mengejar suatu sesi pemotretan; padahal ia sedang ingin pergi ke pasar. Iya, pasar. Bisa jadi ia terburu-buru kembali ke lapak atau kiosnya di pasar. Tadi ia pulang lagi karena jaket kesayangannya itu tertinggal. Ia tidak boleh berjualan tanpa mengenakannya. Apa kata para sosialita di pasar itu kalau ia berbusana seadanya, sekadarnya?!

Begitulah maka hari yang kumulai dengan melihat suatu pertanda baik ini kulanjutkan dengan nongkrong di kantin. Pagi ini ada Mang Untus dan sepupunya, Mas Narno, dan John Gunadi. Orang-orang ini... semakin lama aku semakin jauh dengan mereka. Bahkan dengan John Gunadi; meski jika pun pernah dekat, aku juga sudah lupa kapan. Akan tetapi, mereka seperti memiliki dunia mereka sendiri, dunia mana aku bukan bagian darinya. Dan memang benar demikianlah adanya. Mereka sudah berbagi suka-duka setidaknya selama tujuh tahun terakhir mengawaki perkubuan lantai 4 itu, sedangkan aku selalu di mana-mana. Aku tidak pernah benar-benar tahu apakah mereka tersinggung dengan julukan Banpol PP dan djembel moedlarat. Setelah sekian lama, masa iya mereka mau terus-terusan djembel, terus-terusan moedlarat?

John Gunadi memang entah arah mana yang ditujunya. Akan tetapi, jika engkau tahu apa bentuknya ia sekitar delapan tahun lalu, maka keadaannya sekarang adalah suatu kemajuan. Ya iyalah, masa delapan tahun tidak ngapa-ngapain?! Setelah delapan tahun ini... aku menggendut kembali, seperti sekitar sepuluh sampai sebelas tahun lalu; bahkan mungkin lebih parah! Hiy, aku tidak berani menimbang berat badan. Pasti sudah lewat sembilan puluh sekarang timbanganku. Padahal makan juga sudah tidak membawa kenyamanan, apalagi kebahagiaan. Makan tidak makan sakit-sakit juga. Terlebih lagi, gudeg warung Minul, yaitu tempatnya Mbak Dilla, ya begitu-begitu saja. Pasti krecek lagi, lalu tambahannya, entah telur dadar, telur bulet, begitu saja terus. Entah mengapa tadi nasi kotakku kuberikan pada Mas Milson, jika toh aku masih makan... nasi gudeg lagi! Sambil makan itu, aku dan John Gunadi saling berdiam diri; itu setelah selesai draf SE.

Dasar babi lu! Iya deh, ...emang gua babi... Maapin ya...
Oh, aku merasa terpejit seperti babi! Kalau aku, babi hutan tentunya. Bentuknya, maksudku; meski babi apapun sama saja. Intinya aku yang gendut ini merasa terjepit; dan semakin terjepit aku, semakin gendut aku. Aku harus menghindar! Aku harus menyelamatkan diri! Hanya itu yang bisa dilakukan. Dahulu pun selalu begitu. Ketika aku merasa terpojok di sana-sini, ketika aku merasa seperti digiring ke dalam perangkap, aku melarikan diri. Aku menghindar, tetapi itu dahulu ketika aku setidaknya 10 kg lebih ringan dari sekarang. Sekarang aku sudah gemuk. Kelitku sudah tidak sigap lagi. [keluh] Coba kuingat-ingat bagaimana babi ini dahulu menghindar... Aku pernah menghindar sampai berminggu-minggu! Aku tidak pergi berangkat ke kantor, meski kantorku hanya sepelemparan batu dari kosku; oleh atlet lempar yang sangat terlatih.

Kosku di Jang Gobay... tidur di kasur Palembang, makan pagi di Mbak Yem. Perabotan hanya satu meja tulis murahan diskonan, satu kursi plastik hijau merek Napolly, satu rak serbaguna hitam murahan juga diskonan juga, satu rak handuk, dan satu set zitje bambu boleh kasihan sama yang jual. Lantai ubin warna merah, aduhai sejuknya. Di antara perabot murahan itulah aku menghindar bersembunyi, sampai berminggu-minggu. Kadang, dalam persembunyianku itu, aku keluar juga. Bercelana pendek berkaus oblong, jalan dan jalan dan jalan kaki, baik ke Detos, Margo atau sekadar keliling UI; di bawah terik matahari menjelang tengah hari, atau dalam keteduhan matahari yang beranjak ke peraduan. Sewaktu di Pusaka pun masih bisa seperti itu. Sejak kapan menjadi tidak bisa lagi? Apakah sejak menjadi pengajar Hukum Lingkungan? Sangat bisa jadi... Ooohhh... aku harus menemukan cara melarikan diri. Segera!

Grok... Grok... Ngoik... Ngoik...

No comments: