Thursday, January 10, 2013

Berpikir dengan Hati, Merasa dengan Jantung


MR. M. Yamin. Memang tiada
ganteng Bapak ini.
Paling sedih kalau seperti ini, menulis entri tidak pada harinya; karena pada harinya, tidak ada satu pun yang --jangankan menyemangati-- mengijinkanku menulis entri saja tidak. Sedih, karena satu-satunya yang sahih, yang absah untuk ditulis dalam entri adalah apa yang kurasakan pada hari itu. Hanya ini yang tersisa padaku untuk mempertahankan ideologi rasaku. Demikianlah Muhammad Yamin pernah berkata: "Orang Indonesia berpikir dengan hati, merasa dengan jantung." Ini jauh lebih baik, lebih nyaman daripada makan hati berulam jantung. Itu yang terjadi jika manusia Indonesia [enak aja klaim!] dipaksa untuk berpikir; setidaknya, akulah. Semakin lama aku semakin tidak percaya pada pikiranku sendiri; meski gara-gara ini aku jadi takut, jangan-jangan aku sudah tidak bisa menulis yang bener. Aku terlalu banyak menulis mengenai apa yang kurasakan, dan itu nggak bener. Di dunia yang mengagungkan profesionalitas ini --entah apa maksudnya-- tidak ada tempat bagi perasaan pribadi. Jangan bawa-bawa masalah pribadi ke pekerjaan, itu tidak profesional! Begitu katanya. Lalu kalau membawa-bawa masalah pekerjaan ke [dalam kehidupan] pribadi, apa namanya? Tidak usah sengaja dibawa, itulah yang awam terjadi. Itulah sebabnya kebanyakan orang Indonesia sekarang makan hati berulam jantung; memakan jantung dan hatinya sendiri!

Lalu, stroke deh. Serangan jantung deh. Kanker bermacam-macam deh. Tahu tak kenapa sapi bisa kena anthrax atau penyakit sapi gila? Karena disuruh makan jantung dan hatinya sendiri! Hiy. Memang Penyakit Manusia Gila (Mad Human Disease) agak beda dengan Penyakit Sapi Gila (Mad Cow Disease). Sapi, nih, kalau kena penyakit gila, akan menyendiri dari kawanannya, mudah tersinggung, mudah marah, sangat peka terhadap keributan dan sentuhan, dan lama-lama otot-ototnya suka bergerak-gerak sendiri tanpa disengaja. Sapi gila juga biasanya sedikit keluar susu, tidak doyan makan dan terlihat selalu lemas. [wadus, koq ada semua gejalanya padaku...] Manusia kalau gila seperti apa? ...hah, payah kali pun kalau aku harus mendeskripsikan manusia gila. Teringatnya, Mbak Sisie Andrisa Macallo menulis status di persbuknya bahwa ia dahulu suka mengajak ngobrol jelema geuring sekadar ingin tahu saja apa yang ada di kepalanya. Ceuk urang mah, ari jelema tos geuring, itu artinya ia sudah sembuh gilanya. Ada satu lagi cara untuk sembuh dari kegilaan: MATI. Namun untuk yang satu ini aku tidak bisa cerita apa-apa karena belum pernah. Setidaknya, menyembuhkan kegilaan dengan cara menjadi --atau berada dalam keadaan-- geuring, mungkin aku bisa cerita sedikit. Ya, meski sedikit sekali. Kata kuncinya ya, itu: Berpikir dengan Hati, Merasa dengan Jantung.

Apa yang dilakukan Yamin untuk menunjukkan bahwa ia berpikir dengan hati, merasa dengan jantung? Bersyair! Ya, itulah yang dilakukannya. Bersyair itu bagaimana? Bersyair, menurutku, adalah mengungkapkan perasaan. Pernahkah engkau bersyair? Pernahkah engkau menulis? Jika engkau merasa --merasa, ya-- bersyair dan menulis sama saja, berarti belum bersyair lah kau 'tu. Jika engkau berpikir, maka terasa ada denyutan, ada ketegangan di dahi. [itu sih aku begitu] Jika engkau bersyair, maka --seperti yang selalu kulakukan dari kecil, yang sering mengundang tawa paman-paman dan sepupu-sepupuku-- aku menaruh telunjuk kanan di pelipis kanan sambil menelengkan kepala. Itu biasa kulakukan jika aku berusaha mencerna suatu pengetahuan yang disuapkan padaku. Jadi bukan keluar, melainkan masuk. Yah, meski mungkin sekarang tidak begitu lagi sikap tubuhku jika sedang mencerna, namun setidaknya pelipis kananku berkejat-kejat ketika aku sedang bersyair; kejatan-kejatan mana sungguh nyaman terasa, seperti dipijat istri yang mencintai. Lain halnya jika menulis, [dan mengoreksi grrhh] yang tegang, yang berdenyut-denyut adalah dahi; dan itu tidak terasa nyaman. Bersyair itu --untuk menggunakan kata-kata yang dramatis-- adalah membebaskan jiwa mencerap semesta; sedangkan berpikir adalah menambah sampah ke persekitaran kita yang sudah kumuh.

No comments: