Friday, March 08, 2024

Apel Bancrit Sudah Tiada Lagi di Dunia Fana Kini


Meminum teh oolong susu hangat seperti ini selalu membawa kenangan pada kamar hotel yang nyaman di sore hari, ketika anak-anak belum datang. Anggaran mana yang digunakan waktu itu, ESDM-kah. Adakah waktu itu mengitiki juga. Adakah ketika itu perut membuncit melimpah. Entah mengapa aku selalu suka sayap berhenti, meski yang barusan tadi kurasa sudah mati kemarin. Seperti apakah malam-malam di hari Jumat sekitar 24 tahun lalu. Apa benar yang membuatku teringat padanya. Hidup koq penuh suka cerita begini, menjulur-julur lidah bak kilat meja. 
Ya, karena bancrit itu. Alangkah indahnya dunia kurasa saat ini, saat ini, karena malam ini malam bahagia. Kupaksa teruskan meski suasana semakin kurang sesuai, terutama perut yang menggelembung penuh berisi gas. Kutembakkan agak lumayan barusan nyaring juga bunyinya. Namun itu malam kemarin. Ini sudah keesokan paginya, yang karena ngejogrok di depan tivi nonton yutub membuat kantuk tak tertahankan, aku menyiapkan segelas coklat panas. Ketika itu sudah terpikir mengenai Prof. Dr. Mr. R. Soepomo, namun prakteknya ya gondrong lagi, gondrong lagi.

Barusan bertelpon dengan Takwa mengenai betapa sekarang, selain Magelang, ada Malang dan Cimahi. Masih ada kemungkinan orang akan menyangka apa yang ada di kepalaku ngarang-ngarang, maka aku menelusup kembali ke sepur derek entah nomor berapa lupa. Lorong kuningnya yang terkadang semerbak jika Jeng Doktor Arum baru saja lewat. Japri entah apa kabarnya, apalagi Gerardus dan Gregorius. Betapa mengerikan hari-hari kujalani di sana, monotoninya, dari bangun tidur sampai terpaksa harus tidur lagi. Tak banyak beda dengan Uilenstedenya.

Lantas apa bedanya dengan kini, jelas berbeda. Hari-hariku bisa diselingi donoloyo dengan rhodamin-b niki harumnya, nasi uduk pagi sore atau malamnya, ada cungkring atau urapnya. Kutengadahkan wajah menerima hantaman bulir-bulir air besar-besar. Kurentangkan ke dua belah tangan ke arah langit bermendung. Mulut menganga namun tidak berkata-kata. Hanya dadaku saja penuh kata-kata tak bermakna yang kini kuberondongkan di papan kunci. Dengan 40 kg lebih lemak di badan, tidak heran baunya seperti ini. Oblong putih cap angsa bersimbah peluh.

Kekaryaan ABRI selalu menjadi obsesiku, sebagaimana halnya ABRI masuk desa. Aku anggota ABRI bukan TNI, karena mars ABRI sungguh gagahnya, sedang mars TNI dibikin Addie MS yang istrinya Memes. Bisakah lagu terlanjur sayang, 'gih, sayangilah polisi. Aku biar disayangi anak mantan ibu jala yang lucunya minta ampun. Aku yakin kau tidak akan sanggup menandingi kelucuannya, bau pada puncak dahinya, di anak-anak rambutnya, meski ia tidak melahirkan anak-anakku. Aku suka berkarya. Aku selalu berusaha berkarya sebelum tidurku, apalagi bangun.

Kembali pada donoloyo, kepada oncom, tempe, bakwan, dan aci goreng, hanya satu euro lewat sedikit sekali. Kubayangkan diriku terjun ke kali, ke saluran irigasi, ke pintu air itu, bagian mengalir keluarnya. Aku berenang-renang seperti tahi, kuning kecoklatan seperti air kalinya. Tahi kerbau hijau kehitam-hitaman berenang-renang juga di sekelilingku. Ada juga comberan di jalan petogogan yang dalam khayalan anak umur sepuluh tahun adalah kolam arus, dikhayalkan sedang sudah berada di rumah kakek yang demikian nyamannya di musim hujan pertengahan 1980-an.

Jelas aku bahagia, hidup sejahtera di Khatulistiwa. Adakah bahagia hidupku dekat lingkaran kutub, ada senang-senangnya juga. Ada sedih-sedihnya juga. Ada Adianto Wibisono yang menemani ketika hatiku sakit menyakiti badanku. Ada soto ayam suriname yang kuahnya tulang babi, pantas lebih sedap dari sekadar soto kudus Blok M. Aku mengitiki begitu lancarnya sedang hujan sepagian turun sebentar reda, sebentar turun lagi. Hujan sedang reda ketika adzan dhuhur mulai berkumandang. Matahari seharusnya sedang berada di luhurku, itulah sebabnya disebut "dhuhur".

No comments: