Saturday, February 10, 2024

Kuingin Tidur dan Tak Bermimpi Apapun Malam Ini


Tidak menjadi masalah jika di ujung-ujung kanan-kiri atasnya masih terlihat taplak merah dan alat-alat makan, yang kumakan barusan pun tidak seperti yang di gambar ini. Namanya "steik keju Hamburg", yang datang daging giling berminyak asin digoreng agak matang, dilumuri saus keju tujuh sebelas, disajikan dengan kentang panggang dan buncis mentah. Buncis mentah! Aku tiba-tiba ingat hari-hari karantinaku di Hotel Mercure Gatot Subroto dengan layanan kamarnya. Mengapa sekarang hanya sup tom yam yang dapat kuingat, atau memang cuma pesan itu saja.
Ini akan menjadi entri mahal, bisa tiga ratus ribuan perak setidaknya. Apa satu rupiah pernah sama nilainya dengan berapa berat perak. Setiap jari-jemariku mengetiki, meja ini pun bergoyang-goyang, menggoyangkan cangkir dan gelas, membuat air teh beriak-riak bergelombang. Ini memang bukan meja kerja. Ini meja makan. Lantas meja seperti apa yang pernah ada di ruang makan rumah di atas tebing tepian Ciliwung. Tidakkah aku pernah bekerja di meja itu. Aku bahkan lupa mejaku di Sint Antoniuslaan 11, meja dan kursi kerja jaya boleh beli di mal rongsok ketika masih muda.

Dengan urut-urutan ini, aku pernah mengukur jalan-jalan Jakarta, selatan, pusat, sedikit timur, dan tentu saja Depok, dengan VarioSty. Bahkan sampai ke Serpong. Betapa sehatnya aku ketika itu, ketika waktu yang ditetapkan Protokol Kyoto untuk terjadinya perubahan yang permanen dan tak dapat dipulihkan belum tercapai. "Setidaknya Juz Amma", begitu kata Ustadz Syafiq al-Jambari, "dengan artinya". Namun aku tak bisa memaksanya, Ustadz. Bukankah Allah yang akan mengumpulkannya dalam dada kita. Ah, itu cuma alasan tololmu sendiri.

Aku bahkan tak mau lagi naik bis dari Bungurasih ke Perak, padahal acaranya tidak sejauh itu. Kupelorotkan dudukku, meluruskan perut dan punggungku. Betapa beraninya aku dulu, sakit sendirian di hotel murah di Lamongan, seakan pasti sembuh. Naik becak ke dinas perikanan setempat, lanjut ke badan perencanaan pembangunan daerah, dan kusebut itu semua meneliti; bahkan setelah pulang dari India. Jejak-jejaknya ada sedikit kurekam di sini, seperti biasa, dengan banyak rincian hilang. Tiba-tiba memulas perut, wc penuh asisten putri-putri, jadi lari ke wc satu lagi. 

Beginilah kenyataan dan adaku, sungguh kasihan siapapun yang jadi istriku. Padahal aku pelopor gerakan pemurnian, kuterapkan tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada Gundo, Reza, dan Herman. Ya, mungkin paling banyak hanya segitu itu. Seperti aku baru sadar kalau Zulkhali Duki juga di G3. Di gudang G3 inilah aku berfoto ala-ala van Damme atau Steven Seagal, di atas tumpukan tas teman-temanku sendiri. Seingatku dulu G5 lebih rapi gudangnya, dengan pemandangan lepas ke arah kebun tebu. Jadi apa sekarang kebun itu, akankah dia menjadi hari-hariku lagi.

Ya, positif ratusan ribu ini hanya untuk menjadi entri ini. Ini mall sudah sepi, bahkan stip wong saja sudah hengkang pergi. Libur panjang dari Kamis sampai Minggu tetap tidak jadi apa-apa, sedang hari-hari kerja sudah tentu penuh kesibukan. Perutku terasa tidak nyaman, dan Robert Leckie tidak asik cara menulisnya. Tadi pagi sempat terpikir, akan kukatakan pada John Gunadi: "Leon Uris membuatnya seperti perkemahan anak pramuka." Namun, seperti biasa, John Gunadi sudah mati, dan Togar punya anak istri. Aku setolol John Gunadi dalam hal ini.

Aku baru sadar. Orang Cina bahkan sudah tidak peduli ini tahun baru yang keberapa, malah diberi angka tahun Gregorian. Hahaha pokoknya imlek, sebodo amat tahun berapa. Memang aku lebih mudah menyerah jika di rumah. Di luar rumah, rasa-rasa sedikit mengantuk begini pasti ditahan dan memang harus ditahan; bahkan di kampus yang sudah tersedia kasur tayo sekalipun. Mungkin karena kasur tayonya ada di ruang Bu Tri. Di mana dulu biasanya kasur-kasurku, pernah pula di JHP Lantai 4 pintu barat yang bisa diselot dari dalam; bahkan di karpet kotor humas.

No comments: