Tuesday, January 30, 2024

Bayangan Jatuh Pada Bahu dan Tengkuk Telanjang


Segala sesuatu mengenaiku payah, sudah lama 'ku ketahui fakta itu; dan aku tidak berkeberatan barang secuil pun, jika itu semata-mata mengenaiku. Hanya saja aku tidak akan terima jika anak tertua Bapak Ibu payah. Itu saja yang membuatku terus beringsut-ingsut maju, tidak seperti siput, lebih seperti ingus maju mendekati puncak bibir atas. Itu pun dibantu oleh gaya tarik bumi. Maka jika aku menyelonjor sekarang, menjulurkan kaki-kaki pendekku, menelekannya pada kursi rotan berbantal tipis kecil, itulah aku. Mana ada prestasi kubuat dalam hidupku.
Ini kurasa adalah hari dikuburkannya jasad Arya Maulana Sutjahja ke dalam tanah, di hari berhujan ini. Ia bahkan tidak pernah tahu rasanya berumur 47 tahun, mungkin. Setelah beberapa menit kujulurkan, puncak pantatku sakit, maka kuturunkan kaki-kakiku. Aku yang merasa sanggup menyaingi Seno Gumira bahkan Ahmad Tohari, hampir saja kutulis di sini tadi aku seperti Mark Chapman; ketika kusadari badanku tidak bereaksi positif terhadap minuman manis. Adakah aku termasuk tipe orang yang sanggup menghancurkan diri dan hidupnya sendiri ataukah aku pengecut.

Si Tolol nggak usah aneh-aneh 'lah. "Jangan lupa bahagia," begitu kata emak-emak yang mungkin hidupnya membosankan namun selalu menemukan alasan dan cara untuk terus menjalaninya. Kemungkinan lain bisa jadi seorang laki-laki yang tidak terlalu maskulin namun rajin mengerjakan apapun yang bagiku terasa medioker tetapi sebenarnya bisa membawa siapapun mencapai kesuksesan di punggung bumi. Udara dingin ini entah mengapa membawaku ke hari-hari berhujan, entah di awal 1989 atau 1990, di pintu keluar tol Karawaci, tanah hitam berlumpur.

Masalah akan selesai hanya dengan naik losbak, atau lebih benar lagi, langsung naik Patas 24 Grogol-Cimone, dengan catatan ongkosmu belum habis untuk jajan atau main gimbot. Jika kucoba mengingat-ingat, saat itu memang belum terlalu terasa. Baru setelah kelas tiga mulai agak terasa, namun ketika itu aku terlalu sibuk ingin masuk SMA Taruna Nusantara, Maka Yogya ini terasa seperti Matahari Magelang antara 1993 sampai awal 1994. Mengapa ingatanku selalu nasi goreng babat yang dibelikan Eri Budiman ketika gondongan. Mengapa tidak kerang goreng atau lainnya.

Di sini aku terbang ke hari-hari berhujan lainnya di awal 1998, tentu pada saat aku meraih IPS tertinggi dalam hidupku, yakni, ketika jantung berdetak nyaman tiap harinya. Bagaimana berakhirnya musim penghujan di awal tahun itu, karena seingatku bahkan sampai Mei masih hujan. Bergegas kutinggalkan kesedihan sambil melonjak-lonjak kegirangan karena segala sesuatunya akan baik-baik saja. Hidupku jelas tidak membosankan, meski mungkin lebih seru Ali Shariati yang jantungan karena sering ditangkap dan dipenjara, katanya. "Tak mengapa," katanya.

Jikapun tiada yang kuhasilkan hari ini kecuali entri tolol seperti biasa, maka takkan kusesali sebotol air mineral yang ada manis-manisnya ukuran 600 ml dan sepotong risoles isi ragu ayam; seperti tak pernah kusesali waktu yang kuhabiskan untuk menekuni resep-resep koleksi Ibu. Sungguh spektakuler kisah seorang bayi, diangkat bapaknya tinggi-tinggi di atas kepala hanya untuk menjadi sasaran anak panah; jasad-jasad yang diinjak-injak kuda-kuda mondar dan mandir, bolak dan balik. Serpih-serpih jasad tidak dibiarkan dimakan dubuk anjing liar, tidak berkepala.

Di sinilah aku mengapung ke musim penghujan di awal 1991, entah mengapa lodeh, mungkin tempe, namun terpenting teri goreng telur; kasih-sayang Ibu yang merasuk sampai ke hati nurani. Rumah yang hangat di hari senja berhujan, ubin kuning dan merah tua yang hangat, justru sejuk di musim kemarau. Apalah lagi yang kuinginkan jika bahkan cinta yang sesyahdu itu pernah kurasakan. Ini semua tinggal untuk dijalani, seperti ingus meleleh ke puncak bibir atas; kadang melewati bibir sampai tidak perlu dijilat, langsung asin. Oh, dinasti di ruang tamu itu jua. 

No comments: