Wednesday, May 31, 2023

Aku Tidak Suka Judul Seperti Ini. Padaku Sendiri


Berjalan mundur, dengan punggung menghadap ke arah jalanmu, sedang mata, telinga, hidung, semua panca indra lekat terpancang pada yang telah lampau, seperti bass akustik dibetot sesantainya. Jika tidak pakai MK160 ini mungkin aku tidak pernah memperhatikannya, bahkan sejak dari pojokan dalam pavilyun yang menghadap ke kamar mandinya Oma Sapulete. Sampai hari ini aku masih jengkel dengan kenyataan dipasangnya pintu lemari untuk mengakses pavilyun, menggantikan pintu aslinya yang begitu gagah. Di kacanya pernah ada stiker Australian Navy.
Ah, Mam'selle selalu membawaku ke suasana seperti ini, malam berhujan di FHUI sampai barel ketika masih ramai kehidupan. Entah apa benar yang kulakukan pada saat itu, selalu saja menunda-nunda bahkan sampai hari ini, detik ini. Namun bekas gerimis, genangan-genangan kecil air hujan, udara sejuk, badan dan jiwa yang ringan, keseluruhan daftar-main ini kurasa yang membawaku pada suasana ini. Ajaibnya sinar rembulan di hari-hari yang lebih kering dan langit yang lebih cerah, pun udara yang lebih hangat. Kemudaan membawaku bernyanyi untuk sang dewi malam.

Pada saat itu John Gunadi masih hidup dengan segala ketiadaan gunanya, membangun jaringan rel kereta api se-Jawa, Sumatra, atau Kalimantan dan Sulawesi sekali. Itulah ketika aku menyenandungkan dan mendendangkan cha cha cha cinta ke manapun kupergi, dalam benakku atau pada bibirku. Ini tidak perlu ditarik lebih jauh sampai ke masa Gus Dut menyeterika licin muka Ita Nuriah, meski masa-masa itu tidak kalah cantiknya; penuh dengan kelemasan dan kepasrahan. Oh Allah Gusti, sungguh hidup yang indah menyenangkan dikaruniakan pada hamba hina.

Pada titik ini tiada dendang, tiada senandung menyertaiku, seperti tidak lucunya segmen dendanktoz produksi x-code. Maka kulanjutkan dengan punggung menghadap pada ruang server yang berembun. Di seberangku bisa ada Jerki bisa juga tidak. Berarti sebulan sekali masih menerima Rp. 1.425.000 dari Haji Arifin. Berarti itulah masanya aku minta dijemput Jerki dan kawannya dari Minang Kramat. Aku sudah tidak lagi merokok, bahkan 'ngopi pun tak. Entah apa yang kuminum, adakah jahe wangi. Adakah pulang dengan Deborah AC sambung Koantas Bima atau pun S.72.

Jelas kemudaan yang kurindukan namun bukan kenistaannya. Apakah sekarang sudah tidak nista, masih sama saja. Nista atau tidak, tidak ada hubungannya dengan muda dan gagah, tua dan menggelendut. Satu-satunya cara yang kutahu untuk tidak menyebalkan adalah diam, dan mungkin itu yang harus banyak-banyak kulakukan semenjak kini. Tiada lagi yang merasa engkau lucu apalagi gagah, maka diam saja. Itu sesungguhnya jauh lebih menyenangkan. Menulis setiap hari, katamu. Aku memang tidak menulis apalagi tiap hari. Mengitiki, mempermalukan diri.

Sama seperti ketika selesai rapat di Eijkman malah masuk IGD padahal hanya sekitar 150/100, maka aku kembali saja ke masa-masa di atas tebing tinggi, di tepi Ciliwung, bersama Asatron, bersama sebungkus atau bahkan seslof, semug atau bahkan sebaskom. Ini malah jauh lebih muda lagi. Kembalilah padaku mengalun-alun ditingkahi denting bergetar senar-senar mandolin. Mandi pagi atau malam sekali selalu menyegarkan. Kompor bulat dan berbagai piranti masak. Tidak benar, salah-kaprah bahkan, tetapi tidak berarti bohong atau khayal belaka. Semua nyata ada!

Termasuk menunggu angkot sambil menghisap Crystal yang rasanya amit-amit. Aku tidak ingat apakah kubuang masih sebungkus atau kuhabiskan. Demikian juga Mustang nyaris tak tertahankan. Bahkan Surya terlebih yang pro hanya jika sangat terpaksa. Kuhabiskan untuk apa kemudaanku. Sampai berapa kemudaanku. Antara 20 sampai 40 banyak sekali yang terjadi meski pasti bukan yang teremuk teredam. Aku senang sudah tinggal baris ini dan berikutnya maka aku dapat segera melihatnya jika dalam bahasa Inggris. Puitis, humoris kata Bing Bual. Indah dan syahdu.

No comments: