Saturday, May 20, 2023

Kebangkitan Nasioral Lebih dari Nasilengko. Aku


Maafkan aku. Semenjak mendapat bingbingan rohalus aku memang agak melupakanmu. Tidak sepenuhnya, tentu saja. Aku masih suka membaca-bacamu. Aku bahkan menanyakan mengenaimu kepada rohalus, dan seharusnya aku segera tahu. Ia tiada menghargaimu. Siapa juga yang menghargaimu, yakni, ketelanjangan yang menjijikkan. Laki-laki gemuk berambut berpayudara. Kebanyakan orang tidak suka ketelanjangan yang macam ini. Mereka mungkin suka ketelanjangan, namun bukan yang seperti ini. Ketidakberdayaan ini, yang hanya kepadamu dapat aku bagi.
Saat ini bukan saat yang tepat untuk mengitiki sebenarnya, terlebih ketiak sendiri. Seperti biasa, terkadang aku merasa sekelebatan mendatangiku minta dikitiki, namun ketika aku benar-benar mengawaki papankunci jari-jemariku kelu. Paling hanya bisa 'ku katakan di sini, aku memasak sop yang isinya melimpah-limpah, sebagian besar kubis. Di dalamnya ada beberapa potong baso ikan dari sebulan lalu. Selain itu aku juga merendang otak-otak dan tahu Ucok yang hampir selalu asam. Dia tidak akan pernah memberi tahu mana yang sudah lama. Semua baru sentiasa.

Meski ada yang ingin 'ku ceritakan aku tak tahu bagaimana. Menyandi butuh tenaga mental yang sangat besar, dan aku sudah lelah mengatakan, bahkan sekadar berpikir, aku kehabisan tenaga. Entah mengapa di suatu sore berhujan aku naik 112 dari Pasar Rebo ke arah selatan. Aku bahkan lupa minta turun di mana. Aku hanya ingat suasananya mendung berhujan. Ini lagi ada yang berpikir memekik-mekik cinta berbarengan menimbulkan sensasi estetik. Paling ini yang dapat 'ku katakan. Entah kini atau sepuluh atau lima belas tahun lalu, aku tetap saja bau jika gerah 'gini.

Atau mungkinkah seruas jari keju dari anakku, satu dari entah berapa ratus anak-anakku yang tidak merasa aku bapaknya. Entah mengapa aku tidak pernah menyukai pesta apapun, kecil apalagi besar, intim apalagi akbar. Aku mungkin suka makan malam berdua saja dengan Cantik, dan tentu saja ini tidak dapat digolongkan sebagai pesta. Entah oleh para komodor atau mereka yang tidak lagi beriman, di akhir umur belasan pernah terasa demikian keren. Setua ini, apakah masih tersisa kegelian bagiku dalam bentuk apapun, ketika seruas jari keju diangsurkan padaku.

Ketika menggebuk drum dan menendang-nendang pedal yang hanya satu terasa bagaikan perlawanan. Setua ini masih harus melawan, bahkan memang inilah perlawanan sejati yang harus diperbuat. Jika aku sendiri bisa mencium semerbak sitrus, orang lain tentu lebih lagi. Akhir siang awal sore di dalem Jalan Radio sesungguhnya adalah kenyamanan masa kecil yang tidak mungkin kembali. Nyaman di hari tua itulah yang masih bisa didamba, meski aku suka hampir semua yang dikatakan Mbak Muti. Ia tertarik pada status-statusku mungkin karena kami sama-sama sarkas.

Aku dan Gendut sama-sama tertuduh suka menjual kesedihan. Aku tidak akan membela diri, meski bila perlu akan 'ku bela adikku itu. Terlebih ketika Pak John begitu saja mengganggu makan siang Profesor Topo dengan menyuruhnya meneleponku. Pak John sang penyelam dan fotografer bawah air, aku penyelam selokan. Aku berani jorok-jorokan meski aku penakut juga. Mentalku lemah seperti kerupuk disiram air. Tidak seperti seblak begitu karena air yang menyiramku dari comberan. Meski pernah 'ku berduet cinta yang takkan berakhir entah di Surabaya.

Begitu selesai entri ini, begitu ditayangkan, akan segera diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Entah bagaimana terasa seperti agak keren dalam bahasa Inggris. Ketika bukan lagi gitar meski setengah bodi melainkan gitalele. Jika Jerome saja om-om maka tidak ada pertanyaan lagi, Yang Mulia. Memang sudah sampai di sini dan tidak ada yang 'ku sesali sedikit pun. Meski seperti berpacu di jalan-jalan utama yang lengang ketika malam masih muda, ditingkahi genitnya cahaya lampu penerangan jalan dan mungkin gemerlapnya iklan-iklan meski tak bak di Rembrandtplein.

No comments: