Thursday, March 30, 2023

Tersenyum Padaku [Parapam]. Aku dan Tamburku


Apakah pantas sahur-sahur malah menyanding sejebung besar es sirup. Daripada ditambah apakah pantas lagi, lebih baik 'ku catat di sini kalau aku mau bertanya pada Pak Cecep mengenai dapatkah 'ku gunakan peralatan rekam audio visual di lantai dua kantin itu untuk membuat video propaganda yang idenya dari Masjid Jenderal Sudirman Kolombo. Uah, berlari kencang itu kalimat, sahur-sahur begini malah mengemut jahe mandarin. Bukan tidak biasa aku tidak bisa tidur begini, terutama karena puasa ini. Irama sirkadianku menjadi kacau karena musim panas.
Begitu tandas sejebung es sirup lantas 'ku ganti dengan semug air hampir mendidih. Perutku menggelembung serasa penuh namun masih nyaman. Sejauh ini aku suka bentuknya, meski gulungan pada judul jadi tidak setebal seharusnya agar ia tidak menjadi dua baris. Tentu saja aku masih suka membayangkan manis-manisnya mengulum gula kelapa seperti pernah dibagikan bintara peletonku dulu. Jelas lebih enak gula kelapa daripada tablet efervesen vitamin C yang berkeranyas di lidah dan mulutmu. Selamanya harus 'ku sembunyikan gula kelapa, mau bagaimana.

Terlebih sampai membuat lidah menjulur-julur, sedang yang sudah bedah diobral habis-habisan tanpa tedeng aling-aling. Mengapa menunggu atau pergi dalam bahasa Perancis rasanya seperti berpacu di atas punggung kuda, meski belum pernah sekalipun 'ku lakukan dalam hidupku. Justru renggunuk-renggunuk di atas punggung unta aku pernah. Kembali pada gula kelapa berbagai ukuran tadi, tergantung cetakannya, bisa juga seukuran slilit karena sudah habis-habisan dikulum. Terus dikulum tidak bisa, diklethus terlalu kecil, serepot itu sampai lidahnya menjejulur-julur.

Tidak pandang bulu, tidak membeda-bedakan. Orang-orang seperti Ki Hajar Dewantara yang sampai mendirikan perguruan begitu apakah dirundung segala babaduk dan plrktkuk, ya, semacam halelepah dan jomajujo begitu. Menyimak sebentar tidak ada bedanya dengan Sukarno, yang jelas berbeda ya Suharto bahkan Hatta sekali. Aku menyebut nama-nama seakan-akan sebaya. Apa salah jika lebih asyik membaca tulisan-tulisannya Pak AB Kusuma, 'ku susuri lagi jalan-jalan memori. Uah, kegairahan, kebungahan itu belum lagi hilang, aroma ketiak memuakkan.

Sudah tentu salah jika dipahami sebagai tunggul ametung, tapi memang demikian adanya nyamuk-nyamuk beringas mengerubung seperti lalat pada bangkai. Itu artinya aku masih hidup ketika tunggul ametung pakai deodoran. Adakah main di antara dua merongos itu bukan urusan dan apa peduliku, meski jika benar ada menjadi suatu kesedihan. Pernah aku berjalan di belakang pembangkit listrik tenaga kuda yang tidak akan sanggup membangkitkan apapun, namun siapa yang tahu. Ahaha, kalimat-kalimat penuh kode takode-kode begini, bahkan aku sendiri akan melupa.

Tidak ingin dan tidak akan terjadi lagi meski tidak sengaja, meski sudah tiada jalan patrice lumumba atau aki tornado sebesar jempol, atau jempolnya yang besar. Air hampir mendidih sampai dingin karena hanya 'ku sanding sejak semburan peluru mitralyur pertama yang tersendat-sendat. Hanya sejam lebih sedikit sebelum subuh sedang alinea ini saja masih kurang sekitar dua baris. Aku bukan orang yang suka meminum soda bila tulisannya air aki, apalagi memaksa aki-aki minum sodanya sendiri. Aku hanya khawatir jika kalimatku sampai bermakna berganda.

Seperti membelinya mahkota selera sampai seperempat juta sekadar untuk nostalgia menjadi suatu keputusan mengenai bagaimana kekuasaan judisial diselenggarakan di Amerika Serikat. Meski ada sedikit tanya mengapa sampai bertanya mengenai biaya kuliah setahun, biarlah mereka yang bertanya-tanya mengenai nasib anak-anak langsung mendapatkan jawabannya. Aku tidak mau tahu dan tidak akan pernah mau tahu, sebagaimana kalian tidak pernah mau tahu akanku. Ini entri yang mungkin 'kan disangka tanpa koherensi, namun bagiku konsekuen sekali.

Danau Maggiore untuk Selama... Selama-lamanya

No comments: