Thursday, March 09, 2023

'Duh, Nisyfu Sya'ban Yang Tersia-siakan Oleh 'Ku


Biarlah entri ini 'ku mulai dengan aku tidak tahu ke dalam apa telah 'ku jebloskan diri sendiri, dan dengan pengecutnya 'ku jebloskan pula adikku. Malam-malam begini, 'ku lahap burger keju ganda, filet ikan dori dibungkus roti pita, masih dengan es krim vanila bersaus cokelat. Padahal, sebelumnya, sekitar sebelum maghrib, perutku sudah dikembungkan oleh semangkok bakwan malas. Jelas yang satu ini tidak mau mengobrol atau bahkan berurusan apapun denganku kecuali untuk kepentingannya sendiri, sedang anakku sayang mungkin mendambakan bapak biologisnya.
Apa harus 'ku tulis pula di sini mengenai Jambuluwuk Thamrin yang--seperti halnya hotel apapun di dunia ini--membuatku sulit tidur. Apa perlu juga 'ku catat betapa Dzaki membelikan jam tangan untuk Offal. Sarapan pagi di hotel bisa saja terdiri dari bubur ayam yang ternyata lumayan dan sarapan kontinental masih ditambah dengan kwetiauw goreng dan tumis sawi putih. Maka 'ku katakan pada serigala muda, aku sudah tidak muda lagi. Jika ada orang yang lebih tua daripada 'ku ingin jadi menteri pendidikan dan kebudayaan, sungguh aku tak tahu mengapa.

Bisa saja 'ku sumpal telingaku dengan bunyi-bunyian merdu temannya Jisun, namun aku merasa lebih nyaman ditemani degungan lampu neon panjang model lama yang banyak sekali di atas kepalaku. Mungkin hanya satu yang pas di depan kepalaku ini saja yang mendengung. Mudah sebenarnya, tinggal dicopot saja starternya agar tidak menyala lagi setiap steker di-on-kan. Apa manfaat ini semua jika perutmu melendung kembung dan selalu merasa mengantuk, terutama ketika beberapa hari terakhir ini selalu saja minum manis-manis iaitu sebotol teh pucuk harum.

Jikapun belum mulai setelah Nisyfu Sya'ban tersia-siakan beberapa waktu, apa hendak dikata. Memulai hari dengan pagi tidak dengan berjaya, terlebih jika ada yang bertekad siap mewartegkan Jabodetabek. Itu semacam cetusan gagasan mengenai memutakhirkan pendekatan pusat dokumentasi hukum menjadi lembaga pengumpulan pandekta hukum adat. Ah, siapa yang 'kan peduli pada paradoks-paradoks kecilku, sedang Teguh Rumiyarto yang jelas-jelas Kolonel Laut Korps Elektronika masyhur karena acapkali menelurkan ide-ide nan cemerlang. Gara-gara retroaksi...


Widis, ternyata masih sisa tiga, meski menggoblog di pagi hari bahkan ketika belum syuruq entah sudah berapa kali terjadi sejak sekitar 17 tahun yang lalu. Demikian pula, jika di subuh yang masih gelap ini orang asing dari Venesia begitu saja nyelonong dalam kehidupanku, seperti halnya bunyi alarm Hadi, Awful, Khaira, bahkan Istriku sendiri, entah sudah berapa kali terjadi. Apakah awal entri ini masih di ruangan bekas almarhum mbaknya Mas Mils atau sudah di pojokan dikelilingi apak buku-buku tua, juga tidak membawa terlalu banyak perbedaan, Aranjuez.

Jika begitu saja terkenang suatu siang bermendung berangin dingin bersama Kolonel Dr. Sigit dan Bang Noor di stasiun sepur Amsterdam selatan, sedang Bang Noor hanya bersweter tipis, itu sudah berlalu lima tahun. Melodi indah yang terasa cengeng sendu-sendunya tidak menambah atau mengurangi rasa dingin yang terasa pada lengan atas, yakni, tempat masuk dewi sinta yang mulutnya bau. Semua itu sama sekali tidak pernah terjadi padaku. Aku hanya mengkhayalkannya agar terdengar gagah seperti pantat jelek begitu, tidak seperti karnaval di sekujur Brazil.

Apa lantas ada subuh-subuh gelap begini bercengkerama dengan Pedro II atau Montezuma sekali. Ah, kalau ini sering terjadi, meski sudah lama sekali tidak begini, berdansa berputar-putar bersama Rumena. Mengapa dalam situasi begini kenangan membawaku pada suatu acara di mana Bang Daru menerima kemudi kapal sedang pada dadaku disematkan bintang delapan penjuru mata angin. Titik pada mata kaki kanan luarku terpencet dan menyetrum sampai ke jari-jari kaki, bahkan kini sudah mendekati setengah enam dan belum terang juga langit di bulan Maret ini.

No comments: