Thursday, June 30, 2022

Hujan Badai Guruh Mengguntur Meski di Telinga


Aku tadi sempat nyaris berjanji untuk membuat entri-entri koheren seperti yang 'kutulis sekitar lima belasan tahun yang lalu, tetapi ampas jangkrik emas mengurungkan niat itu. Apa hubungan antara kedua premis ini aku tidak seberapa ambil peduli, maka aku geli melihat buku-buku mengenai logika. Jika Musfi merasa perlu mengajarkan logika, itu semata karena latar-belakang pendidikannya. Aku lebih tidak tahu lagi apakah akan meratakan ankiri atau bagaimana, yang jelas Pak Ogah dengan latar-belakang Melani dan Unyil berawal dari suatu kesakitan yang terlupakan.

Sekarang sudah tidak lupa lagi, dan Pak Ogah sudah tentu jauh lebih sakit ketimbang sekadar nyeri di siku kanan belakang luar; jika kau tahu apa maksudku. Ini kopi jahe emprit aduhai sedap manisnya, hanya ini yang boleh 'kulukiskan. Sisanya, aku baru memutuskan untuk meretroaksi entri ini. Jahe emprit ini cocok untuk sambil menggarot yang seuprit. Apakah memang harus semanis ini, ataukah memang kemanisan hanya di permukaan sedang dalamnya menyembunyikan kesakitan dan kesumat yang mengerikan; telah 'kutemukan kembali Terang Bulan, Terang di Kali.

Demikian pula 'kutemukan lagi Simfoni Cintanya Francis Gayo di kanal Herman de Music. Lagu-lagunya, urut-urutannya, kecantikannya, lamat-lamat tilawahnya, semua mengingatkan ceramah tololku pada Hari Prasetiyo di suatu ketika menjelang maghrib, yang tentu saja 'kusesali. Aku tidak kunjung menulis juga sesuatu yang menakutkan. Terlebih kegairahan melakukan kaji-ulang yang disela oleh gugatan kepada Arsip Nasional Republik Indonesia. Tentu saja gugatan ini tiada sepenting kaji-ulang, seperti membandingkan Pak Try Sutrisno dan Pak AB Kusuma.

Seteguk lagi kopi susu jahe emprit seujung lidah, seperti kenangan yang tidak mau pergi dari kepala mengenai pantat yang ditepok gara-gara menghalangi foto bersama Dausi. Aku tidak pernah punya energi untuk mendendam, meski pernah 'kutuliskan betapa dendam dapat menjadi sumber energi yang besar. Suasananya bahkan masih terkenang, temaram begitu. Apakah ketika itu aku punya sebungkus atau sekadar beberapa batang rokok, seteguk atau segelas, bahkan sejebung kopi, bisa jadi. Aku masih selalu seperti itu, meski anak-anak gadisku t'lah menjelang dewasa. 

Akan halnya tempat tidur bengkok yang akhirnya harus dibuat lagi dari awal, tidak lebih menjengkelkan daripada antena televisi digital atau apapun yang sejenisnya. Semua memang harus terjadi, seperti kembalinya buku-buku agamaku ke meja kerjaku, ditahan stan buku merah. Sebagian besarnya baru, meski ada beberapa, tepatnya empat, yang lama. Mungkin ini sudah musim semi, begitu denting senar Francis Gayo bersenandung seperti entah dari sejak kapan, dari pavilyun, ke graha-graha, kembali ke pavilyun, ke kamar-kamar kost, kini di tepi Cikumpa 'kumenghadap timur.

Kebutuhanku untuk disayang-sayang entah mengapa besar sekali. Aku jadi sedih membayangkan kebutuhan ini dirasakan oleh seorang perempuan, apalagi kalau perempuan itu sampai adikku sendiri. Ini mungkin kebutuhan yang tidak akan pernah terpenuhi. Tidak satu pun mahluk fana yang sanggup memenuhinya tanpa melukai diri sendiri, dan aku tidak suka melukai diriku apalagi orang lain, apalagi yang 'kusayangi. Terdengar lagi tilawah masih oleh KH. Muammar ZA, seperti dari puluhan tahun lalu. Melengking menyayat hati, jika lamat-lamat sungguh melangutkan.

Apakah setelah ini hatiku cukup kuat untuk membuka lagi, membaca lagi, menulis lagi. Mengapa Gerben tidak terdengar sudah lama sekali, sedang Laurens tiba-tiba muncul dengan beritanya yang bagaikan petir menggelegar di tengah hari bolong. Hadi dan Japri pun cukup lama tidak terdengar kabarnya, dan BA.4 dan BA.5 diperkirakan mengamuk di minggu kedua dan ketiga Juli. Bersamamu di sisiku memang selalu menyamankan dari kecilku dulu, atau setidaknya menjalani hari-hari di Lembah Tidar sana; Aduhai banyak pun tempat nyaman telah 'kusinggahi.

No comments: