Tuesday, July 26, 2022

Sudah Lewat Sehari Gajian Bulan Depan


Irama baru, itu dia! Lebih baik dari Irama suka, meski yang belakangan ini identik dengan kemudaan. Meski kemudaan identik dengan ketololan, merokok-rokok suka-suka. Menghambur-hamburkan uang untuk setengah bungkus Djarum Super 12 atau terkadang Star Mild menthol, karena jika tidak punya uang justru Djarum Super 16 boleh mencatat dulu pada Nano. Adakah pada saat itu sudah irama baru, pasti sudah ada. Namun tentu saja tidak sebanyak sekarang. Aku masih ingat pada saat itu saja Rasaku masih sekadar di angan-angan, sedang disket maksimal sekadar muat 1,44 MB.

Irama baru ini unsur-unsurnya gitar, bass, piano, perkusi utama dan pendukung. Gitar bisa satu bisa dua. Kalau dua ya satu melodi satu ritem: Suatu deskripsi yang tidak berdaya-guna. Aku agak jengkel sebenarnya dengan meja yang sekarang berkeretak berkeriut setiap 'kutumpangkan tumit tanganku padanya, atau setiap 'kuangkat. Bahkan sepoinya debur ombak lembut lamat-lamat gagal menghilangkan kejengkelanku, bahkan beberapa teguk jahe berkerim beruwuh. Namun kesempurnaan seperti apa yang 'kudambakan. Apakah meja Babe Tafran dahulu sempurna, apakah WC ngamparnya, atau kaca nakonya. Lantas mengapa masih mengeluh.

Aku ingin entri ini meretas batang ruang dan waktu. Waktu terutama, karena irama baru bisa kapan saja. Apakah di kamar paling barat dari jajar selatan "Pondok Annisa" oleh Babe Tafran, atau di bilangan Uilenstede sekali, teriknya siang bisa dilembutkan oleh irama baru. Memisalkan irama baru dengan anak perawan yang baru beranjak remaja adalah suatu penistaan. Bahkan 'kurasa, tidak ada anak perawan beranjak remaja yang sedemikian indahnya, sehingga dapat dimisalkan irama baru; tidak pula anak-anak perempuanku sendiri. Irama baru inilah kecantikan yang tentu saja tidak sekadar ragawi, karena mustahil cantik jika sekadar ragawi.

Ini menjadi entri pertama Juli 2022, padahal sudah lewat sehari gajian Agustus. Asaptaga, tidakkah kau bergidik kengerian. Mengapa lantas kau santai-santai saja mengetiki seakan tiada apa-apa yang hendak menerkammu. Seperti pemuda dalam kisah orang-orang dalam parit, ketika orang-orang kengerian ada binatang buas menghalangi jalan, mungkin singa yang diasingkan kawanannya. Bisa juga Sang Candapinggala, si kuning-coklat mengerikan, yang bertemankan Nandaka turunan Nandini tunggangan Batara Mahadewa, yang jadi makan rumput.

Bagaimana dengan Turangga Cipta, yang dengan bangga menarik kereta pengantin. Pak Kumara dan Bu Tini yang berkendara. Ia meminta pada Pak Kusir tak perlu mencambuknya, karena ia toh akan menarik kereta dengan penuh semangatnya. Sebelum menikah, Pak Kumara sempat tinggal di rumah Bu Tini loh entah berapa lama. "Memang setengah atau entah berapa lama habis untuk pulih dari sakitnya, namun siapa yang tahu berapa lama ia masih tinggal di sana bahkan setelah pulih, bahkan mungkin lebih bugar dari sebelum-sebelumnya," begitu batin Turangga.

Debur-deburan ombak ini untuk apa, mengingatkanku pada Halong atau bahkan Kolinlamil sekali. Bukan pula kenangan terburuk dalam hidupku. Kau bertanya mengenai yang terburuk. Aduhai, 'kuakui tak berani 'ku membaginya denganmu. Jadi begini saja, kalau awalan 'ku- bertemu langsung dengan kata kerjanya bolehlah disambung, namun jika masih harus bertemu dengan awalan maka dipisah. Orang sekadar menuai apa yang bahkan sekadar dipikir-pikirkannya terus-menerus. Orang bicara-bicara mengenai viral, maka Covid-19-lah yang didapatkannya. Demikian.

Anganku tiba-tiba melayang ke depan Hotel Mahakam di belakang Gereja Yohanes itu, siang-siang terik begini juga. Sedang apa aku di situ. Berjalan kaki atau berkendara, aku tidak tahu. Apa benar kenanganku di situ, sedang aku pernah membeli makanan sarapan, mungkin mie ayam. Oh, kurasa aku berkendara Vario Sty. Mungkin aku menginap, berarti ini awal-awal menjadi dosen sepulang dari Maastricht. Uah, begitu indah hidupku penuh dengan kenangan-kenangan manis, meski tidak ada yang semanis pagi hari mengobrol ideologis-sufistik 'bari menyantap nasi uduk Rampok.

No comments: