Monday, June 13, 2022

Salamku 'tuk Pancasila Melangutkan Jiwa


Malam-malam begini menyeruput secangkir kecil susu cokelat rendah lemak tinggi kalsium sambil memandangi telaga sunyi, terasa seperti di sini, di sana, di mana-mana. Tiada lagi kenangan masa muda, sedang banyak orang bersikeras aku masih muda. Aku tidak peduli. Aku tidak mau muda. Kemudaan sudah berlalu. Seperti halnya aku tetap kanak-kanak, oh, seandainya. Kendali sepenuhnya ada padamu. Biar 'kukhayalkan terus itu gerobak goyank sampai menjadi kenyataan. Diparkir di bawah pepohonan baik di terik matahari atau derasnya hujan.

Hari demi hari, Oh, Tuanku, aku berdoa. Masih ingat pada biplaneku yang kini tinggal kenangan. 'Kumodelkan dari pendahulu Gannet, meski sama-sama Fairey, yakni Swordfish. Tentu bukan torpedo yang di bawah itu, mungkin tangki eksternal. Ternyata yang 'kubutuhkan untuk menjalani kehidupan selama berpuluh-puluh tahun 'kudapatkan di pavilyun, meski mungkin sebelumnya, entah di Graha 3 atau 5 sudah begitu pula. Temaramnya lampu, pikiran entah-entah seringnya mengilhami, dengan siapa aku berkenal-kenalan. Musik indah tentu jangan sampai tertinggal.

Di pojokan sini terasa senyaman di manapun aku merasa nyaman. Mungkin memang tidak perlu beranjak ke mana-mana. Aku memang selalu suka pojokan, hanya perlu dirapikan. Dengan setumpuk buku memang selalu begitu, seperti rak yang dulu 'kubuat di garasi dan menemaniku ke mana-mana. Tidak sebesar punya adikku, namun yakin telah 'kutamatkan semua. Ah, Claire, kau memang selalu cantik sejak kali pertama mengenalmu. Mau diulang  berapa kali pun tetap cantik, bahkan sejak aku belum mengetahui namamu. Kini aku setua ini, kau tetap cantik.

Aku ingin melakukannya denganmu, ketika iklan-iklan di televisi masih bersahaja dan bersahabat. Ketika udara pun masih bersahabat, entah karena kemudaanku. Sungguh aku tidak ingin kembali pada ketakberdayaan, karena aku tidak pernah menjadi apa-apa. Bahkan ketika di pojokan itu berteman, di pavilyun medio 2008 itu pula. Pernah ketika berteman, aku diserang panik sampai berjalan cepat ke arah Barel. Lebih dari sekadar perempuan adalah sepulangnya dari Negeri Belanda, ketika ini semua bermula. Istriku masih secantik ketika kali pertama 'kubertemu.

VarioSty yang 'kucongklang ke mana-mana dengan gagahnya, termasuk ke kantor Pusaka di Lenteng Agung itu. Apakah untuk pulang ke Jang Gobay, biasa tetap 'kuparkir di tempat Babe Tafran, di samping sarang beto. "Mang Imas mau tidur, terserah," begitu kataku, "yang penting saya mau yang seger-seger." Ini lebih muda lagi. Bersatu kembali selalu memukau sejak di kamar cilik atau ke manapun, terlebih setelah mengetahui persiknya seperti apa. Malam-malam begini aku berteman kenang-kenangan masa muda, sedang manisnya flute ditingkahi lembutnya gitar.

Ah, waltz terakhir yang tidak pernah berakhir, 'kutarikan bersama rasa cinta yang menjadi kekasihku sejak kecil. Betapa hidupku penuh kenangan manis, terlebih malam-malam begini menghadap ke selatan. Sedang Istriku Sayang tiada jauh dariku, aku mengetiki entah-entah seperti biasa. Belum lagi jam sepuluh, aku lelaki gendut botak berumur empat puluh lima. Aku seorang bapak, panggil aku begitu maka aku senang. Jangan panggil aku "mas" apalagi "oom". Aku seorang bapak, bukan pula salah satu ksatria meja bundar, maka jangan panggil aku "sir". "Pak" begitu saja.

Jika waktuku berakhir kelak, aku meninggalkan ini, entri-entri indah rata kanan-kiri. Bukan catatanku mengenai kejadian sehari-hari, apalagi peristiwa-peristiwa dunia. Ini hanya kebat-kebitnya perasaan yang diabadikan. Di era serba digital ini, siapa yang tahu prasasti kelak seperti apa. Biar yang mempelajarinya nanti merasakan berkebat-kebitnya hati yang selalu dirundung cinta namun tak pernah berbalas. Biar ia tahu melangkah sendirian sepanjang jalan antara Barel dan Kukusan, terkadang ditemani kepul-kepulnya asap rokok entah-entah sekenanya.

No comments: