Wednesday, June 22, 2022

Selamat Ulang Tahun ke-495, Kota Kelahiranku!


Aku selalu ingat air teh yang sangat sederhana rasanya, mungkin kagem Uti ngunjuk obat, dalam mug porselin warna hijau yang tutupnya, seingatku, sudah cuwil. Betapa hancur hati Akung, dapat 'kubayangkan, ketika menuliskan dalam buku hariannya: Reni overleden. Dalam suasana seperti inilah aku dibesarkan. Bahkan ketika itu terjadi, aku tinggal di salah satu kawasan yang terkenal dari kota ini dengan macannya. Benyamin bin Sueb, cucu Haji Ung, juga lahir tidak jauh dari tempatku tinggal. Namun, hampir setiap akhir pekan kami pergi ke ndalemnya Uti.

Rasa lucu ini serasa menjalar ke lengan kiri, setelah dua harian ini ada di dalam belikat kiri. Dalam hidupku sehingga kini, entah sudah berapa gelas air teh dengan rasa sederhana 'kuteguk habis. Aku ingat benar ketika masih mahasiswa strata satu melakukannya, sampai aku juga dihidangkan hal yang sama, entah oleh Pak Mawi atau Pak Nardi. Apakah sebelumnya aku juga melakukannya, apakah ketika SMA pamong-pamongku juga dihidangkan air teh di meja mereka, aku tak ingat. Uah, kombo trio piano, bass betot, dan dram senar ini menghasilkan bunyi-bunyian yang nyaman.

Ah, ini stik dioser-oser di atas dram senar duk rema nyamman ta'iye. Perjalanan ini masih panjang. Dengan yang ini bahkan masih lima etape lagi. Bagaimana aku berani berhenti berleha-leha. Dengan baju bergaram begini, hanya satu yang ada dalam pikiranku: mandi. Namun malam sudah larut. Malas benar mandi, meski 'kuyakin tak akan lama lagi aku akan begitu saja mandi. Aku justru tidak yakin akan sanggup menyelesaikan perjalanan menyusuri jalan-jalan kota kelahiranku ini. Meski tak ayal terkenang juga musim kemarau 2008 itu, ketika baru S.H.

Malam-malam yang gerah seperti sekarang ini, dengan apa aku pergi ke Lingkaran-K, bahkan sampai yang jauh di Gandaria. Sewaktu masih di Babe Tafran, apakah cukup di Starbek atau Nano, atau warung kecil di depan kostan cewek itu. Di Lingkaran-K Gandaria, aku teringat membeli Sosro Joy Tea. Uah, diminum malam-malam gerah aduhai segar menenangkan. Seberapa cepat aku tidur entahlah, yang jelas aku tidur di garasi depan pavilyun, di samping Djendril. Waktu itu Yohanes Gunadi masih hidup, Mas Wirok masih muda, Qodir masih kusut, pada ketika itu.

Apa benar yang menyenangkan dari saat-saat penuh ketidakpastian itu. Kemudaan. Aku bisa saja pergi ke Sarimomo yang ada d'Goes itu, entah apa pernah 'kubeli burgernya. Aku juga bisa menyeberang ke Burger and King. Enak di situ ber-AC, seperti halnya Buku Kafe. Lebih jarang lagi ke Angkringan Panjer Wengi. Lebih seringnya makan meki sapi dilanjut tempura ubi semua. Salah satu patron tetap ketika itu tentu saja Dedy Nurhidayat. Itu bisa saja hari-hari membaca skrip Ca Bau Kan, atau Kapal Penuh Mempelai Wanita, atau Iblis dan Nona Prym, atau Reader's Digest.

Di sinilah kurang lebih aku mengenal Andre Juan Michiels salah satu pelestari Krontjong Toegoe. Masih teringat musim hujan di awal 2008 itu, lumayan derasnya. Bahkan sampai banjir di mana-mana. Waktu itu Februari, seingatku, di kantin darurat FHUI, di emperan belakang Gedung C. Masih ada ibu-ibu Cina jual gorengan. Ah, hidup, mengapa begitu benar. Apa benar kesedihan, semua dijalani saja dari hari ke hari sampai ke sini. Padahal sebelum sampai ke sini sudah banyak persinggahan, pemberhentian, atau aku tidak pernah benar-benar berhenti. Entahlah...

Adakah sebelumnya lebih menyenangkan, ketika menjalani satu kuliah ke kuliah berikutnya, sampai dikata "mahasiswa ayah". Jaman segitu bagaimana cari uangnya. Seberapa banyak uang yang dapat dihasilkan. Nyatanya sampai hari ini, meski pada waktu itu tidak pernah luput dari utang. Semoga semua sudah dilunasi. Udara malam masuk lewat jendela yang terbuka, mendinginkan dada yang bertambah tua, perut yang bertambah tambun. Sungguh, malam ini aku kangen losyen wangi sereh yang kini telah tiada. Betapa banyak kini dari duniaku yang sudah tiada...

No comments: