Friday, June 17, 2022

Semerbak Jahe Wangi Harum Dupa Setanggi


Entah mengapa aku mengetiki Kamis pagi bermendung begini, mungkin karena sekitar satu jam lagi akan dimulai acara awut-awutan entah-entah. Memang bukan karena tak sanggup mencinta, namun hati memang diciptakan dengan ukuran yang bermacam-macam. Ada yang seluas samudra, ada yang sebesar lubang penahan pasak pagar. Sebesar apapun, jika memang mencinta maka mencinta 'lah ia. Demikian pula, sebesar apapun, itulah cinta yang ditakdirkan untukmu. Itulah nasibmu, bagianmu. Tinggal lagi bersyukur atau tidak. Jika tidak, rugi 'lah sendiri.

Asap dupa setanggi itu tidak berhembus ke arahku. Itu pun tidak perlu menjadikan berat hatiku. Akan halnya aku yang membakarnya tadi, tidak berarti asap harumnya harus untukku pula. Jika angin membawanya justru ke udara bebas sampai-sampai wangi harumnya tidak terasa lagi, bukan padaku untuk mengeluhkannya. Biar mengeluh bagaimanapun, tetap saja harum dupa setanggi bersatu dengan molekul-molekul udara selebihnya. Jika mengeluh, kerugianmu sendiri. Kamis pagi bermendung perut dijejali nasi, sayur krecek, acar kuning, tambah telur dadar sekali.

Lagipula, kau hanya harus keluar sebentar dari ruanganmu. Ketika masuk kembali, harum wangi dupa setanggi menggelitik membelai-belai penciumanmu seperti seorang kekasih remaja yang penuh manja. Itu juga dengan mudah dapat dirusak dengan mengorek-ngorek lubang hidungmu, maka penciumanmu pun dipenuhi bau sampah, bau tahi. Memang betul apa yang dikatakan Ernest Yeagley, berhenti tiba-tiba cukup mengganggu ketika sedang dibuai diayun-ayun ombak pantai senda-gurauan, sedang orkes Paul Weston memainkan lagu-lagu pembuat nyaman pendengaran.

Uah, ternyata masih empat. Oke 'lah kalo begitu. Mana ini kelentang-kelenting piano ngakunya serasa di rumah. Rumah siapa. Mungkin kalau ditingkahi gericik air dari pancuran bambu akan terasa begitu. Ah, entah rumah siapa ini. Penciumanku digelitik wangi harum dupa setanggi! Masya Allah. Dalam kondisi begini seharusnya aku dapat mencurahkan segenap rasa, segenap daya cipta. Apakah ini di pedalaman Jawa Barat, atau Jawa Tengah, di daerah pegunungan. Tidak, ini di tepi Cikumpa seperti biasa. Aku sudah mandi air hangat dari pancuran. Ah, sedapnya.

Buddhis dengan ekornya yang jelek dan kotor baru saja berlalu di hadapanku. Kini ia menyusuri jalan menanjak menuju entah ke mana. Gabut dia. Apakah kami sama-sama gabut. Ia melangkahkan kaki-kaki kurusnya, aku mengetuk-ngetukkan jemari pada papan-kunci. Kami, yang jelas, sama-sama mencoba mensyukuri karunia berbagai kenikmatan. Buddhis selalu berhasil. Aku selalu gagal. Tidak perlu 'lah terlalu jengkel pada Ade Armando, apalagi sampai menggebuki, menelanjangi. Jika kau tidak suka ucapannya, jangan dengarkan. Aku pun tak suka, tapi biarlah.

Apakah setelah ini aku akan berhasil membuka Bab Empat, sekadar membacanya kembali, menggoda kerinduan. Apakah seujung sendok teh kopi instan pada susu jahe wangi akan menyakiti lambungku. Semua pertanyaan itu membawa kenangan pada masa muda yang tidak pernah ada. Masa mudaku kusia-siakan, kubuang-campakkan begitu saja entah ke mana. Sampai-sampai aku tidak pernah merasa muda. Aku selalu tua, bahkan sebelum dilantik menjadi Ketua OSIS SMP Islamic Village periode 1989-1990. Satu harapku, semoga hidupku tidak sesia-sia masa mudaku.

Ada orang berkata surga ada, namun yang dimaksud adalah segala kefanaan dunia yang tidak ubahnya bangkai cicak mati gara-gara memakan selai nanas hijau beracun. Betapa cantiknya memang dunia, dengan lugunya bersolek. Namun seorang budak cukuplah menyungging senyum melihat itu semua sambil memuji Sang Pencipta, sambil memohon ampun atas kelemahan. Apa lantas berhak merasa lebih kuat jika tidak gugup. Jangan sekali-kali dilupakan! Al-Ghazali meninggal pada usia 55 tahun, Andhika Danesjvara 50 tahun, Safri Nugraha 47 tahun.

Setiap tinggal setengah pasti sudah dingin

No comments: