Wednesday, June 30, 2021

Apeduliku Pada Euro Penyebar Semangat Corona


Jadi bertahun-tahun tanpa Aku Sedang Menuju, yang ternyata tidak sampai tiga menit itu. Semua ketololan pasti berharap segala sesuatu yang terasa menyenangkan berlangsung selama mungkin, bahkan selamanya. Itulah ketololan yang hakiki. Padahal kenyataannya tidak akan lebih dari tiga menit. Seperti Aku Sedang Menuju yang lantas dilanjut dengan Itu Semua Hanya Permainan. Nah, memang benar. Semua ini hanya permainan, meski cantik betul terasa permainan itu, terlebih jika dipermain-mainkan. Uah, di usiaku sekarang ini aku sudah tidak sanggup.


Bahkan sekadar menghadirkan cantiknya mempermain-mainkan saja aku sudah tidak sanggup. Memang sudah bukan waktunya. Entah seperti apa isi goblog ini jika seandainya terus ditulisi bertahun-tahun kemudian. Adakah tahun-tahun yang kemudian itu, aku pun tidak tahu. Terlebih dengan kelajuan dua puluh lima ribu lebih per hari seperti ini, siapa yang boleh tahu. Masih bersyukur aku bisa menyaksikan Jason Yeoh makan sate babi benteng. Sate hati babi berselimut lemak caul menghadirkan kehangatan yang ganjil namun nyaman, seperti semangkuk sayur bakut.

Bukan Aku yang Boleh Mengatakan terasa aneh dengan perut gendut mengganjal, meski tidak pernah diisi babi dengan sengaja. Kebanyakannya diisi tepung-tepungan, dan aku sudah lupa seperti apa itu surga. Terlebih jika surga itu dihadirkan oleh perasaan berkasih-kasihan. Ada juga anjing-anjingan atau binatang ternak atau peliharaan yang lain. Apapun itu, yang jelas bukan sepasang remaja berkasih-kasihan. Dulu pun ketika remaja aku tidak tahu rasanya, terlebih setelah tua gendut botak begini. Tidak hendak juga, malah menjijikkan, seperti dililit pakai lemak caul perut babi.

Ini adalah entri tanpa indikasi waktu, apakah dulu, sekarang, maupun nanti. Kocokan gitar Pakde Bruce memang aduh sedap belaka, seperti kocokan tangan habis merajang cabe rawit pada rayap mati. Kesedapan yang rutin, yang sedap karena terpaksa, karena sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Kalau gabut masa menyiksa diri, tentu bersedap-sedap. Masih yang itu juga membayang tepat di tentang dahi, di puncak hidung, di antara dua mata. Mana ada kambing berkomunikasi lagi, menghilangkan selera, menguap entah ke mana. Namun bayangan itu tidak juga hilang.

Surat Cinta! Aku benci surat cinta, karena ia selalu berakhir dengan pengkhianatan cinta. Aku bukan pengkhianat apapun, terlebih cinta. Aku setiawan cinta, meski bukan Ari atau Iron Setiawan. Kepada cinta aku bersetia, pada cinta apapun, meski itu pelacur beraja-singa, meleleh nanah dari situnya. 'Kusembuhkan ia dengan suntikan-suntikan penisilin pada pantatnya. 'Kuseka itunya dengan tisu-tisu setiap meleleh nanah anyir busuknya. 'Kubelai rambutnya yang keriting, 'kutenang-tenangkan hatinya. "Ini hanya raja singa, belum lagi raja layanan bibir," 'ku berkata.

Apakah matanya menatapku sayu, apakah karena sakitnya atau karena dilanda birahi. "Itumu masih mengeluarkan nanah." "Mas jijik padaku." "Bukan begitu. Aku kuatir menyakitimu." Semata ada dalam khayalku atau memang pernah terjadi aku tidak peduli. Sedang kambing mengembik menguik-nguik berkomunikasi dengan sesama kambing aku tidak peduli. Apatah lagi beda antara khayal dan kejadian sebenarnya. Bau tetaplah bau, meski itu ketiak bidadari sekalipun, atau ketiak berambut seorang pelacur tua. Tidak ada bedanya, tetap 'kureguk segenap rasa, ah 'kusesapi. 

Ini, tanpa 'kusadari, menjadi semacam karya eksibisionis, karena sayunya mata bisa terjadi pada siapa saja. Seorang ibu berjilbab syar'i yang dahulunya remaja putri terharu-biru romansa yang kurang patut, atau seorang remaja putri yang sudah berhijab sejak balita, matanya bisa sayu. Darimana datangnya mata sayu dan rambut keriting ini, mungkin semata karena aku terlalu banyak mengkhayal jorok. Jika asli pun, jika benar-benar ada pun, tidak ada sesuatu pun yang dapat 'kuperbuat, kecuali mengurut rayap mati sampai muntah-muntah cecek, agar agak nyaman.

No comments: