Sunday, July 04, 2021

Prasetiyo Hari Bersama Hari: Melewatkan Jum'at


Aha, sudah lama tidak 'kugunakan teknik membuat judul yang seperti ini, sedang aku sudah curiga ketika Cantik mengenakan helm. Aku bahkan sampai lupa apa yang ada di kepalaku tadi. Oh, bakmi bangka yang di seberang Gema Pesona itu. Tentu saja Cantik tidak berminat. Ketika ia menyebut "Mbak Ira" bertambah kecurigaanku. Benar saja. Tulezyu! dan benar saja belum buka. Ternyata Donat 'Nyelup sudah buka, maka kesampaian 'lah beli Krim Boston meski masih bersama teman-temannya agak lima biji lagi. Makan bubur ayam Pemalang pun bersama Si Kucing.

Badut Indramayu. Tanpa dikatakan pun aku sudah tahu dari tampangnya.
Begitulah maka Tante Agnetha diharmonikan oleh Tante Frida, dengan iringan piano hongki tong Oom Benny, sedang aku ketar-ketir apakah kopi instan yang agak terlalu banyak ini akan menyakiti perut atau tidak. Enaknya sebelum Senin menjelang aku sudah menyelesaikan tata-letak buku han-ham, tapi biarlah bass entah siapa ini mendentam dulu gendang-gendutku. Bukan karena itu semua aku menulisi, semata karena menulisi adalah hal terasyik setelah menghancurkan peradaban. Uah, siapa sih yang pernah membeli gim dari websait, apa tetap di awan-awan. 

Nina! Aduhsay bass-nya, atau gitarnya Oom Bjorn, sedap betul. Inilah kesedapan hidup di dunia, bukan yang lainnya. Jika dokter Jul merasa lucu dengan hancurnya gigi karena cairan vagina, aku lebih merasa lucu jika menggoyang-goyangkan bahuku, mengangguk-anggukkan tengkukku, seirama dengan lenggok gemulainya Ratu Dansa yang masih seusia anak perempuan kesayanganku. Muda dan manis, hanya tujuh belas. Iramanya terutama, bukan lenggok gemulainya. Lenggok gemulai biar dalam khayalku saja, sedang mataku terpejam, karena bukan itu intinya. Irama!

Halah, ini lagi Aku Punya Impian malah teringat KehidupanBarat, lantas Abdul Qodir. Ini bagian dari kemudaan yang tidak ingin 'kuingat-ingat. Hal terbodoh yang bisa dilakukan siapapun adalah mengingat-ingat, terlebih sampai mendamba-damba kembalinya masa muda. Memang perutku sekarang gendut mengganjal, kepalaku botak, dan tiga macam obat darah tinggi 'kuminum sekaligus tiap malam. Namun itu semua tetap baik, sama baiknya dengan kemudaanku. Bahkan mungkin lebih baik, seandainya dosa-dosaku diampuni seriang irama denting hapsikord ini. 

Baru empat puluh empat tahun koq sudah merasa tua. Sok tuak luh! Masa bodo! Aku tidak lantas merasa berjingkrak-jingkrak riang di jalanan Stockholm, sedang Amsterdam yang jelas-jelas sudah 'kutelusuri, lebih sering 'kutunduk-tekuri jalan-jalannya. Dingin berangin, hangat berhujan, tidak ada bedanya. Aku tetap menunduk, menekuri, menjalani. Sudah lewat waktuku untuk menjadi seperti Alexander Agung. Jadi apapun 'kurasa sudah lewat, kecuali teman Mang Imas berziarah ke wali-wali soto. Itu pun yang dekat-dekat saja. Sekitar sini saja, tidak sampai Bojonegoro.

Mammamia! Satu-satunya hanya ayam berbumbu dari kalangan Jet-Set yang 'kubeli di Toserba Model. Selebihnya aku tidak pernah berseru begitu. Aku mungkin gaya-gaya'an sampai orang menyangkaku yang tidak-tidak. Padahal aku tidak lebih seekor anjing bekas peliharaan yang terlantar menggelandang di pinggir-pinggir jalan. Itu pun tidak jauh-jauh. Aku menggoyang-goyangkan ekorku biar disangka minta kasihan orang-orang yang lalu-lalang. Padahal tidak! Aku bahkan menggoyang-goyangkan pantatku tanpa tahu malu, sedang lidahku menjulur-julur.

Penampil Super, bisa jadi! Memang hanya itu bisaku. Semua kawanku bisa macam-macam. Bu Ismu sudah melihatnya dari jauh-jauh hari. "Yang satu ini," batin Bu Ismu, "hanya akan jadi badut. Mungkin sedikit lucu, tapi bagiku tidak." Gumamnya sambil menjebikkan bibir. Aku lantas ingin tahu segala tahun dan bulan lahir Bu Ismu, jika perlu jamnya dan sebagainya, tapi itu semua ketololan. Itu sekadar naluri ingin tahu yang 'kusangka seperti insting ilmuwan, padahal cuma ketololan seorang badut. Kasihan siapapun yang berurusan denganku, hanya badut yang agak sedikit lucu.

No comments: