Saturday, June 26, 2021

Purnama Mengintip dari Balik Naungan Bulan


Pantas udara gerah, ini tanggal enam belas Dzulqa'dah, yang berarti kemarin purnama. Begitu saja aku menyongklang Skupi ke arah prapatan PLN dengan niat untuk kali pertama bertemu kembali dengan capjae. Bukan capcay, apalagi japchae, melainkan capjae. Ini tafsir orang Jawa terhadap hidangan sepuluh sayur, yang dibawa oleh orang-orang hokkian dari kampungnya di Fujian sana. Tentu saja, manis dengan kecap yang banyak. Ini capjae versi Mbah Djono, 'kumakan dengan nasi padang bekas tadi siang. Aku juga membeli bakmi gorengnya, dimakan Cantik sedikit.

Aku juga tidak tahu mengapa menjelang jam sepuluh malam, di malam minggu ini, aku berakhir dengan menulisi. Apa karena malam mingguku memang selalu begini. Malam minggu tidak pernah speysial cinta-cintaan buatku. Bahkan dahulu malam minggu selalu makan, setelah sebelumnya collect call. Luar biasanya, boro-boro maghrib, isya' pun yang waktunya panjang blas pada waktu itu. Bagaimana bisa?! Malah mie ayam dan tahu telur magelang selalu terkenang, juga lagu-lagunya Ace of Base atau pernah juga Carrie-nya Europe di bis pesiar itu, menjelang apel malam.

Ya, pesiar Minggu itu hanya waktu kelas dua. Tidak pernah yang paling pagi, namun pulang hampir selalu sekitar Quantum Leap. Tidak pernah aku terlambat pulang pesiar. Kelas tiga pesiar selalu malam minggu, nyaris tidak pernah minggunya. Ini adalah waktu-waktu yang mengilhamkan kisah mengenai Bess coklat. Masalahnya, dapatkah membidik dengannya. Meski ini terpikir dan dikembangkan di waktu-waktu yang lebih kemudian, bahkan setelah aku bergentayangan tak berjiwa di seputaran Barel dan Margonda. Seperti semua saja, ini pun tak pernah jadi apa-apa.

Dari semua itu, yang tidak pernah berubah adalah lagu-lagu temanya. Dari mulai berkhayal menerbangkan biplane di malam purnama, sampai sekarang menjalani kenyataan sebagai peneliti doktoral, lagu-lagu temanya masih terus yang itu-itu juga, seakan Ibu tetap pada usia remajanya, bahkan sebelum melahirkanku. Maka 'kukeluarkan segelas plastik besar air yang 'kudinginkan di kulkas. 'Kuambil sebutir Ricola mentol segar gletser dan 'kukulum, sedang Ray Conniff sekarang memainkan orkestranya, sedang para penyanyinya bernyanyi tanpa lirik.

Jika pun ada yang patut dicatat di sini, sarung silikon Vivo V5S+ setelah empat tahun akhirnya menyerah. Ini malah 'mancing-mancing minta diganti Concetta gara-gara Jangan Minggu, namun 'kuurungkan. Sedang dahulu saja khayalku terbatas pada yang itu-itu saja, bagamainatah sekarang. Apa yang 'kuinginkan sepenuhnya khayal, dan kini aku sudah tidak punya cukup tenaga untuk berkhayal. Aku mau yang nyata-nyata saja, senyata perut gendutku yang terus saja 'kupenuhi tepung-tepungan tiada henti; ternyata ada juga Cinta itu Biru berlirik yang penuh kenangan.

Dengan isengnya 'kucoba Cinta yang Tidak Pernah Terasa Begitu Bagus. Aku berjoget-joget di kamar Hadi di Peter Calandlaan, sedang Hadi dan Ira memandangiku aneh. Serpihan-serpihan seperti inilah yang ada padaku. Jika 'kupaksakan bisa saja 'kubuat menjadi cerita yang koheren, namun untuk apa. Justru kelebatan inilah, berkebat-kebit tepat seperti cara otakku bekerja. Tepat seperti kodok terbang atau entah apa itu di Graha 13 di suatu siang bermendung. Meretas batas ruang dan waktu, demikianlah lompatan kuantum, tidak perlu pakai mesin atau Doraemon.

Kalau Rantaro, Kirimaru, dan Shinbe lain lagi urusannya. Ini adalah telepon umum di warung Pak Musa. Bagaimana aku bisa membeli rokok di situ jika aku selalu menunggak bayar kontrakan. Itu yang 'Kusuka! Langsung lompat saja seperti kodok nyaris mendarat di panci penuh air mendidih. Apanya yang 'kusuka. Tidak ada. Jika aku bisa tidur senyenyak tidurku dalam pelukan Peony, itu sudah segalanya. Tepat setelah ini aku akan menghadapi kenyataanku, menggelar alas tidur, entah masih sanggup menambah beberapa baris dari Arus Balik. Begitu saja hidupku.

No comments: