Monday, June 21, 2021

Titik Balik Matahari Hemisfer Utara Menghapus Aku


Aduhsay sebuah judul yang panjang sekali aku tak hendak memaki, sementara telingaku dibuai nyanyian anak perempuan. Ini ngeri-ngeri sedap, memulai dorongan terakhir di kesempatan terakhir dengan menulisi. Namun peristiwa ini harus diabadikan, ketika matahari berada pada titik baliknya di hemisfer utara, sedang musim dingin Australia bocor ke arah utara. Pagi hari menjadi sejuk berhiaskan senyuman istri sendiri yang sangat 'kusayangi, alasanku untuk tetap hidup dari hari ke hari. Kambing pagi-pagi gelisah kelaparan, mencari-cari makanan ke sana-sini.
 

Kalimat-kalimat tak bermakna ini sungguh dalam artinya bagiku. Suatu hari nanti, Insya Allah, akan 'kukenang-kenang sambil tersenyum-senyum. Akankah 'kulihat tangan-tanganku sendiri mengeriput ketika itu, bahkan ketika aku masih menulisi goblog ini. Tiada lagi kesedihan waktu itu. Tersisa tinggal harap-harap cemas akan hidup abadi, akankah mulia atau penuh siksa. Tidak akan 'kulayangkan kembali anganku ke sekitaran Relderek, sedang telingaku dipenuhi bunyi-bunyian Uilenstede, yang sebenarnya 'kusadari ketika sedang penelitian lapangan dua tahun lalu.

Perang Wangsa Bharata terjadi sekitar hari-hari seperti ini, atau setidaknya episode gugurnya Bhisma. Aku ingat mengenai matahari berada di titik terjauhnya di utara. Apakah ketika itu Bhisma moksha, atau masih meminta salah satu cucunya untuk mengambilkan bantal kepala. Ah, Si Tolol ini kebanyakan mengonsumsi kisah-kisah kepahlawanan. Ini harus diimbangi dengan sebanyak-banyaknya kisah kepencundangan, jika mungkin, yang tidak dibuat-buatnya sendiri. Kalau buatannya sendiri, Si Tolol akan menjadikan pecundang-pecundang ini pahlawan. Dasar tolol.

Seperti kisah mengenai hak mengatakan kata "h" dari pagi ini. Padahal "h" sekadar "hitam", seperti dalam Si Hitam dari Laut Jawa, atau dari Goa Hantu. [Itu mah Si Buta] "Kau lebih dari teman berbagi" sebenarnya hampir luput, namun justru menggemaskannya di situ. Jih, kegemasan diperdagangkan. [ada tidak sih kata "kegemasan"] Sudahlah, ini mengenai Si Hitam dari Tepi Cikumpa, dengan rambutnya yang krimbo jika gondrong, dan perutnya yang mengalir sampai jauh di bawah celana kakak perempuannya hahaha. 'Tuh 'kan, kalau buat sendiri pasti jadi heroik.

Lantas kemanjaan sebagai ciri khas, naudzubillah jangan sampai manja di luar judes di dalam. Amit-amit, dijauhkan kiranya dari yang seperti itu. Tidak lama lagi, mungkin setelah berak untuk yang kedua kalinya, ini akan segera berganti dengan Daya Otak atau sebangsanya, karena terlalu melangutkan jiwa. Membuat gila! Masa sudah tua begini masih tergila-gila pada stambul cha cha. Manusia-manusia belum jadi ini memang lucu, namun kebanyakan lucu-lucuan tidak akan membawamu ke mana-mana, kecuali sekadar membuat pantatmu lecet kebanyakan menggesek kursi.

Ini seperti dipaksa menatapi Manusia Hujan dua kali berturut-turut. Ini seperti mengendarai Kong Keledai anggota Deseptikon, tidak berani juga aku berjanji di sini. Seperti kebanyakan janji di sini, tidak ada yang ditepati. Ingatlah bahwa ini semata untuk mencatat kejadian matahari mencapai titik terjauhnya di utara, bukan untuk mengumbarasa. Ini mengingatkanku pada kisah cinta segitiga antara Siti Kejora, Lutan si Bolang-baling, dan Rama Umbara. Tidak perlu kautanyakan siapa jagoanku, namun sungguh narasi itu kuat, sampai membentuk kesadaran.

Aku memang tidak yakin. Jangankan yakin, percaya pun tidak. Mustahil aku diijinkan mencapai puncak bukit sekadar untuk menertawai dunia seisinya di bawahku. Itu adalah HakNya. Biarlah aku merayap-rayap di lereng bukit, entah naik entah merosot lagi, sambil tertawa-tawa sepanjang jalan. Biarlah orang-orang menertawai, aku pun menertawai mereka. Mengapa harus naik, mengapa sedih, mengapa muram-durja jika tergelincir jatuh lagi dan lagi. Mengapa menatap puncak seakan harus mencapainya. Benamkan saja mukamu di lumpur kenyataan sehari-hari.

No comments: