Tuesday, June 15, 2021

Senja Cantik Kala Snek Ucus Hampir Habis


Nanti kalau perih lagi bagaimana, seperti disayat perlahan? 'Emang pernah disayat, 'ga usah gaya-gaya'an, 'deh. Itulah sisa dari hari-hari yang lalu. Jikapun 'kukatakan, "aku sedang sedih" takkan ada yang peduli. Sudah setua ini masih saja begini terus. Lantas, mau seperti apa kalau sudah tua. Tidak sedih lagi. Sedang telingaku disumpal dengan Bersatu Kembali, biarlah anganku melayang ke suatu petang seperti ini, entah di K28, E4 atau bahkan Gama I/26. Tidak jauh dari situ ada rayapan melayang di atas tonjolan, atau bergelantungan seraya menyapu halaman.


Pernahkah kau menyangka akan ada lima belas Juni dua ribu dua puluh satu, ketika bahkan sembilan puluhan pun belum terbayang. Ternyata sembilan puluhan adalah juga petang dengan video klip dan hujan dengan sakit yang lumayan. Paruh pertamanya menyakitkan, paruh keduanya lebih lagi. Ini semacam Si Tolol mengenang-ngenang masa mudanya, sedang dua puluh tahunan kemudian yang ditemuinya adalah pandemi global. Aku melangkah agak cepat-cepat, dengan kedua belah tangan di saku jaket tebal, bahkan ketika keduanya diberi bersarung-tangan tebal.

Ini tentu bukan kisah cinta, karena sudah lama aku menyerah bila mengenainya. Ini bisa jadi suatu petang yang hangat, dengan langkah tegap menyusuri jalan-jalan di seputar Radio Raya sampai Radio Dalam. Aku tidak pernah benar-benar tegap. Tepatnya, hidupku ini penuh omong kosong dan khayalan, sampai-sampai aku tidak peduli dengan yang nyata. Bukan lagi aku tidak bisa membedakan mana yang khayal mana yang nyata. Tidak ada bedanya! Khayal adalah nyata adalah khayal, aku bersikeras. Asal jangan 'kupaksakan pada orang lain saja. Untukku sendiri.

Ini juga bisa untuk petang hari, Kau Membuatku Merasa Kinclong, atau Kinyis-kinyis juga bisa, meski aku tidak pernah benar-benar suka mliwis goreng. Kalaupun 'kumakan, itu lebih seperti tantangan makanan aneh atau semacamnya. Ini petang yang cantik, yang membawa khayalan akan harapan-harapan. Mungkin semacam mengemudikan pesawat jet tempur seraya hati dipenuhi cinta. Hahaha jelas karena kebanyakan nonton filem. Nyatanya, aku gendut dan sakit-sakitan mengetik-ngetik entah apa, yang bahkan aku jijik sendiri. Namun itu tidak mengurangi cantiknya senja ini.

Semanis teh hitam jahe kunyit bersimbah madu, masih dengan ramuan jahe merah berkepala gula berkrimer entah apa, semanis itulah petangku. Seberapa dalam Cintamu. Sedalam selokan di pinggir Gang FF atau di mana pun aku tak peduli. Sudah jelas cinta bukan topik favoritku. Perang justru aku lebih suka, meski lama-lama merasa bodoh juga. Binatang aku tidak pernah tidak suka. Makanan aku juga suka, namun makan binatang tidak. Masih adakah tersisa bagiku manisnya cinta di sisa hidupku, biar kukecap-kecapkan bibir pada lidahku, semanis madu cinta kasih sayang.

Fantasi yang fantastis! Di petang hari ini, menjelang maghrib, nah, itu kata yang 'kucari. Asyik. Menyenangkan. Asyiknya senja yang menyenangkan, bersimbah madu, bosah-baseh bagai... tiba-tiba hilang hasratku untuk membuat ragaan-ragaan erotis. Waktuku sudah berlalu. Hanya manisnya madu ini saja yang masih kukecap-kecap dengan lidahku, sedang jari telunjuk kiriku sibuk mengorek-ngorek kotoran hidung, sedang otakku sibuk mencari ragaan yang sesuai bagi senja yang cantik namun tidak cabul ini. Apakah itu berarti dentam-dentamnya bass yang 'kusuka.

Bahkan snek ucus lebih lancar 'kuceritakan, setelah dicuci Faw dari saus-saus yang mungkin akan memencretkan, atau setidaknya membuat nyengir berjengit. Disusun satu persatu di tepi jendela dapur, langsung dihampiri seekor semut. Sekitar ashar 'kuperiksa sudah diserbu agak satu kompi semut, namun senja ini, Ucus terlihat menjilat-jilat bibirnya. Maka 'kuperiksa lagi dan ternyata memang sudah tidak ada. Beberapa terlihat jatuh ke bulak-bulak, tapi selebihnya mungkin sudah disantap ucus. Ya, begitulah senjaku yang cantik, kala Ucus memakan hampir habis sneknya.

No comments: