Monday, January 08, 2018

La La Paloma Bukan Matahari Melainkan Merpati


Apa harus kukeluarkan dari Kristal Pengetahuan si Catatan Subversif itu, yang pernah menemani ejanan-ejananku, mungkin kepul-kepulan dari mulut bergigi belepotan nikotin. Apa iya? Apa Roda, yang sering ditebaki Ibu? Apa ini? Apa puisi yang Bilang Begini, Maksudnya Begitu? Mochtar Lubis apa pernah ke Berlin bersama Sapardi Djoko Damono? Apa pula semua kalimat tanya ini, apakah pertanyaan-pertanyaan? Melonjak-lonjak kegirangan melambai-lambai ke kiri dan ke kanan rambut pirangnya. Entah dikepang dua, diekor kuda atau digerai saja tidak mengapa. Begini 'kan lebih baik.


Jadi afirmatif. Jadi tidak perlu bertanya-tanya. Emangnya Munkar dan Nakir bertanya-tanya. Meniup sangkakala emangnya Israfil. Jika memuji kebesaranNya adalah mahluk selebihnya, mungkin manusia, terlebih aku, memohon ampun padaNya. Siapa yang memohon ampun? Aku? Jih! Sombong! Aku apa ada? ... Mengapa kembali bertanya? Apa tidak cukup mie instan rebus diberi banyak-banyak kubis cacah a la Pak Sachid? Ia jelas bukan Parisienne, mungkin Bukit Beri Biru. Ini menggeleng-geleng entah lemah entah bersemangat, ketika gelengan dan anggukan berputar-putar.

Cimarron! Illahi Rabbi, dari 1931! Apalah ini, ketika pada awalnya terdengar seperti maskarpon. Memang begini inilah caranya merintang masa, meretas raga, sampai-sampai sampai di Pulau Kapri. Gila, ini sih dari sebelum Perang Asia Timur Raya atawa Perang Pasifik. Entah sudah berapa banyak pembunuhan dan pembantaian dalam kurun itu, atau sekadar ketakutan karena menghamili anak gadis orang meski siap bertanggung-jawab. Betapa banyak hati hancur, hamil dalam tahanan, mati ketika melahirkan, dikubur entah di mana bersama bayinya sekali. Entah dibayonet entah tidak...

Maka carilah sebuah bintang! Mungkin kau akan mengangkat gelasmu, entah berisi margarita atau scotch dengan es batu. Entah bercerutu atau sekadar sigaret. Entah kretek atau putih, yang pasti kumis njlirit setipis silet. Fedora atau homburg bisa saja, berdasi panjang atau kupu-kupu boleh juga. Jika Melodi Cinta sudah mendayu begini, kau bisa apa. Kerling mata sayu menyibak tirai ikal berurai mayang, mana tahan. Akan diapakan sudah tidak relevan lagi. Diajak ngobrol atau sekadar dipakai suka-suka, yang penting bayar. Mengapa harus bersusah hati. Bersenang-senanglah semalam ini.

Besok masalah lain lagi. Tahankan saja terik matahari, karena Sinar Rembulan dan Mawar-mawar toh akan menjelang lagi. Di seberang kali ada langgar kecil tempat orang-orang miskin meratap-ratap minta tolong tuhannya, itu urusan mereka. Di seberang sini adalah tempat suka-suka, di mana corong terompet terkadang ditutup-buka dengan fedora atau homburg pemainnya. Yang bertopi cepiau biar mencangkung saja. Apa dalam rangkulannya ada si Denok atau si Demplon itu sepenuhnya urusan selera. Jika suka menyilang kaki silakan saja. Keseruan Bunga Jingga selalu membuat ingin berdansa.

"Itu tempat Cabul, tempat mawar cabul bersimaharajalela!" Pak Kaji dengan santri-santrinya sekali, dengan tatapan nanar penuh horor mengamangkan lengan keriputnya, mengacungkan telunjuknya. Pak Kaji selain mengajar mengaji juga membantu Bu Kaji berjualan es selendang mayang di depan rumahnya di samping langgar. Santri-santrinya juga tetap di pinggir kali situ tidak pernah ke seberangnya. "Rajasinga," bisik-bisik mereka penuh kengerian. Santri-santri yang jauh lebih muda membayangkan semacam barongsai yang menyeramkan, yang sudah dewasa tahu itu nanah belaka.

Kini, hampir  seabad kemudian, kalinya tinggal selebar setengah meter. Sudah tidak ada mawar cabul apalagi santri-santri. Memang semua saja begitu. Kau pikir ngapain tulang-belulang dinosaurus memfosil? Semoga saja paduan suara ini tidak memfosil dalam benak, sedang orang ada saja yang berkhayal tentang paduan suara malaikat, ada juga yang berkhayal malaikat itu perempuan. Kalian menekuni mitologi Yunani-Romawi [apa termasuk Babilonia-Persia?] dan tidak merasa bersalah sedikitpun mengenainya? Apa firdaus, apa buraq? Ampun Ya Allah, ampun. Huwallahu Ahad!

No comments: