Monday, April 17, 2017

Secangkir Torabika Cappuccino Bukan Kopi Goya


Padahal sudah habis. Padahal sudah digantikan oleh secangkir air panas namun bisa diminum, tetapi ia bersikeras minta dipanggil kapekaino. [Padahal aku yang berkeras memanggilnya begitu] Padahal ini sudah lampau duapuluh empat jam dari "padahal" yang pertama. Berhubung ini sudah tiga kali plus satu padahal, maka dengan ini saya menghentikannya. Sudah cukup semua kegilaan ini, sedangkan Ahok keren tapi oke oce, kata Adjie. Biarlah jika demikian kulantangkan, "Ave Maria!" bukan ave-ave lainnya, sedangkan neo-nazi pun tidak harus selalu heil hitler lagi.


Lantas mengapa pula kau memulai hari dengan ini? Mengapa tidak kausyukuri nikmat sehat yang sedang kaurasakan sekarang? Orang bilang bersyukur itu tidak cukup hanya di mulut saja, cinta itu bukan hanya di bibir saja, [Uah, bahasa Melayu memang seperti bahasa Spanyol. Lebay!] tetapi, melainkan, harus dibuktikan dengan perbuatan. Tentu bukan perbuatan tidak segera beranjak shalat ketika adzan telah berkumandang. Habis bagaimana? Baju menyerap keringat seperti habis diguyur, gara-gara bawa motor hampir tengah hari. [untung kemarin tidak kupaksakan bermotor ke Salemba]

Bahkan setelah kapekaino sekarang aku seperti ingin secangkir luwak witte koffie yang less sugar dan low acid. Apa-apa'an ini?! Tidak ada kebahagiaan sejati kecuali selalu shalat di awal waktu, bahkan menunggu-nunggu berkumandangnya adzan ketika terasa sudah mendekati waktu. Itulah kebahagiaan di dunia. Musik manis ini juga kebahagiaan sih, seperti ketika mendengarkan Francis Gayo. Ada hubungan apa dengan Iwan Gayo? Dua-duanya membangkitkan kenangan manis akan lantai ubin merah tua dan kuning, kering namun sejuk dingin, di teriknya siang yang menyengat.

Inilah kisah cinta. Dunia memang membutuhkan lebih banyak cinta. Bukan cinta yang menjompak-jompak, melainkan yang lembut mengalun-alun, seperti naik turunnya gelombang air telaga ditiup angin sepoi menyegarkan, di siang hari yang panas. Sedangkan seorang anak perempuan cantik yang sayang pada bapaknya bermain ayunan. Didorong agak keras oleh bapaknya, seakan seperti melayang di atas telaga. Tertawa-tawa. Aku tidak tahu apa-apa. Fase itu tentu harus dilewati oleh siapapun, namun kurasa aku tidak akan pernah tahu.

Pergilah, pergi dengan Tuhan, Sayangku. Anakku bukan satu, bukan dua, melainkan seribu. Laki-laki semua, saleh dan perkasa. Dengan pedang di tangan menyerbu memulihkan harga diri Ibu Pertiwi. Seperti itulah mereka memapas leher para durjana, para durangkara, membuang kepala-kepala nista; sedangkan bibir-bibir mereka selalu basah dengan kalimat-kalimat suci. Seperti itulah anak-anakku lelaki. Anak-anak perempuanku, mereka shalihah. Apapun yang mereka kerjakan, tidak sekejap pun lalai memohon petunjuk, lindungan, pertolongan dan ampunan Sang Maha Perkasa.

Hidup macam apa yang tengah kujalani kini? Apapun ini Insya Allah kujalani. Apapun yang terasa tidak enak adalah akibat amal-amal burukku sendiri. Semua yang terasa enak semata-mata adalah belas-kasihNya. Semoga Tuhan mengajariku untuk bersyukur kepadaNya, atas segala nikmat yang kuterima, besar dan kecil, satu pun tak terlewatkan. Semua kusyukuri, karena Ia mengajariku caranya. Apalah aku pendosa. Tidak pantas aku meminta apapun kecuali maaf dan ampun, itu saja! Tuhan Maha Baik, Maha Belas Kasih, Pencipta belas kasihan itu sendiri.

Aduhai, amboi sungguh nyaman terasa dibelai-belai jiwaku, meski tubuhku penat dan linu. Ia-lah Maha Indah, Pencipta keindahan itu sendiri. Ia pun Maha Perkasa, segala sesuatu tunduk takluk mengiba beringsut di KakiNya. Ia Maha Mengayomi, segala sesuatu bergantung padaNya. Ia Maha Kaya, segala sesuatu berhajat kebutuhan padaNya. Kesejahteraan dan keselamatan semoga senantiasa tercurah pada junjunganku Baginda Nabi Besar Muhammad beserta seluruh ahlul bayt beliau, para sahabat, para pengikut beliau seluruhnya sampai ke akhir jaman!

Aduhai nyaman, amboi, aduhai sedap nian! Hanya Engkau Maha Mengetahui betapa hamba rindu pada kekasihMu. Ya Rabb, pertemukanlah aku dengan yang kurindukan. Aku yakin beliau pasti mencintaiku, menyayangiku yang fakir hina-dina di dunia ini. Ya Allah, ajari aku membalas cintanya. Tuntunlah aku ke sana. Apa lagi yang menarik dari dunia ini, tidak ada! Jika pun ada, aku ingin menghadapnya bersama dengan mereka yang kusayangi ketika di dunia ini. Pertemukanlah hamba dengan kekasihMu, Sang Musthafa, Ya Rabb al-'alamin.

No comments: